Tahun 2016
Mobil sedan hitam tepat berhenti di depan pekarangan rumah Nenek Utik, mengundang banyak atensi dari para tetangga. Matahari bersinar sangat terik belakangan ini. Jika kau tidak memakai pakaian dengan lengan panjang, kau harus menerima fakta bahwa kulitmu akan perlahan seperti terbakar, atau setidaknya menghitam. Meskipun nantinya kau akan berkeringat karna memakai baju tersebut.
Seorang perempuan keluar dengan anggun dari mobil itu, berbalut dress ungu yang elegan dengan rambut yang terurai sepanjang punggung. Usai penumpangnya turun, mobil sedan itu berjalan mundur keluar dari pekarangan, lalu menghilang bersama dengan kendaraan lain yang melesat di jalanan.
Aku yang sedari tadi berdiri di ambang pintu sembari menggandeng Ita, segera berlari menghampirinya. Bibi Aila sontak berjongkok, menyetarakan tingginya denganku, lantas menerima pelukanku yang tiba-tiba.
“Kok kamu sekarang udah gede banget sih, Ka?” celetuk bibi sambil mencubit kedua pipiku, rutinitasnya untuk mengusir rindu dengan keponakannya.
Ita yang masih ada di ambang pintu, pelan-pelan berlari menghampiri kami, kemudian ikut memeluk bibi, begitu juga dengan nenek. Usai saling berpelukan, kami masuk ke dalam rumah. Hal yang pertama kami lakukan adalah membongkar isi koper bibi. Biasanya bibi akan membuka isi kopernya dan langsung memasukkan barang-barangnya ke dalam kamar. Katanya agar setelah itu ia bisa langsung istirahat dengan bebas tanpa memikirkan barang-barangnya di koper yang perlu dibereskan.
Aku dan Ita membantunya. Kami tidak ada agenda hari ini. Sekolah juga libur. Sedari pagi, kami hanya duduk melamun di halaman belakang rumah nenek, memandangi hamparan sawah yang mulai menguning, bertemankan burung-burung yang bercicit. Ini tahun kedua Ita masuk TK dan tahun pertama aku duduk di bangku kelas 4 SD. Setelah mendapat kabar dari paman mengenai kepulangan Bibi Aila, kami dengan sigap ikut nenek membersihkan rumah, menata kamar bibi yang tadinya dijadikan gudang sementara, hingga ikut berbelanja bahan makanan untuk makan malam.
Seperti dugaanku, selain banyak baju yang dibawanya, di dalam koper bibi juga terdapat banyak sekali camilan. “Nah, ini semua buat kalian.” Dengan senyum lebar, ia memberikan semua camilan itu kepadaku dan Ita. Aku tersenyum gembira saat menerimanya.
Tak sengaja, sebuah dompet kulit berwarna hitam kecoklatan jatuh ke lantai saat bercampur dengan camilan-camilan yang akan diberikan kepadaku. Di dalamnya terdapat beberapa lembar uang berwarna merah. Aku melihatnya sesaat sebelum akhirnya bibiku terasadar dan mengambil dompet tersebut, lantas memasukkannya kembali ke dalam koper.
✦✦✦
Aku dan Ita pergi berjalan-jalan untuk membeli mi instan. Ayahku bilang kalau ia akan pulang terlambat hari ini, sehingga aku disuruh membeli beberapa mi instan untuk makan siang. Kami tiba di warung dekat rumah. Jaraknya sama dengan saat aku pergi ke sekolah. Bibi pemilik warung menyambut kami dengan ramah. Ita dengan kepintarannya langsung mengambil beberapa mi instan yang dia mau. Dia sudah sering ikut aku ke warung, juga ikut membantu nenek memasak untuk sarapan kami. Terkadang, ayahku harus berangkat sangat pagi sampai tidak sempat membuatkan kami sarapan. Biasanya kami dititipkan kepada nenek, lalu ayah akan memberi nenek upah karna sudah merawat kami.
Ayah adalah pribadi yang tidak suka merepotkan orang lain. Ia sering merasa tidak enak jika dimintai bantuan sehingga cenderung mau membantu siapa saja dan melakukan apa saja. Ia lebih memilih menyelesaikan urusan atau pekerjaannya sendiri daripada meminta bantuan orang lain, walaupun itu sangat diperlukan. Padahal kami masih punya hubungan darah dengan nenek, namun ayah selalu meminta nenek untuk tidak menolak pemberian uang darinya. Ya, hitung-hitung mengganti uang untuk membelikan kami jajan. Padahal saat bersama dengan nenek, aku selalu bilang ke Ita untuk tidak meminta jajan kepadanya. Minta saja kepadaku dan akan kubelikan dengan sisa uang sakuku.
Saat menunggu bibi pemilik warung ke belakang untuk membungkus belanjaan kami. Pandangan Ita tertuju ke sebuah sayap mainan yang digantung tepat diatasnya. Sepasang sayap itu berkilau terkena sinar matahari, berputar ke kanan dan ke kiri karna tertiup angin. Aku melihat bola matanya, bagai ada angkasa di sana. Gadis kecil itu pasti takjub dan sangat menginginkannya. Namun saat aku melihat label harga yang menempel di sana, sepertinya aku harus mengurungkan niat untuk meminta ayahku untuk membelikannya.