Tiga Bintang Paling Terang

Dann
Chapter #16

15. Hujan Sialan

Kabar mengenai Bibi Aila yang tiba-tiba dibawa ke rumah sakit membuatku sedih. Rumah nenek selalu sepi, gelap gulita di malam hari. Ayahku biasanya mengajakku ke sana untuk merawat kakek, atau sekadar menyalakan lampu rumahnya. Aku tak punya teman bermain selama satu minggu ini. Bahkan aku juga belum pernah menjenguknya di rumah sakit. Setiap kali aku mengajak ayah untuk menjenguk, pria itu selalu bilang besok, karna ia masih sibuk menghitung pengeluaran pekerjaannya.

Lima hari kemudian, ucapan ayahku akhirnya terealisasikan. Setelah matahari sempurna tenggelam di ujung barat, aku dan Ita diajak untuk menjenguk Bibi Aila di rumah sakit. Hatiku gembira bukan main. Akhirnya aku bisa bermain dan melihat wajah cantik bibiku lagi. Tak peduli dengan apa yang kupakai, aku sudah berdiri tegak di teras rumah, duduk menatap langit malam yang penuh kilau cahaya. Hari ini langit cerah. Rembulan seakan tersenyum kepadaku, tahu jika aku sebahagia ini sekarang. Tak lama kemudian, kami berangkat ke rumah sakit sambil membawa beberapa jajan untuk buah tangan.

Usai lima belas menit perjalanan, kami sampai di rumah sakit. Awalnya aku takut berkunjung ke tempat itu. Pasalnya traumaku akan kematian ibu yang sempat dirawat di rumah sakit ini, masih membubung kuat di kepala. Tapi ayah menggandeng tanganku. Ia tahu kalau putranya ini punya ketakutan yang mendalam. Kami akhirnya menelusuri lobi dan mencari tempat bibiku dirawat.

Sesuatu tak terduga tiba-tiba terjadi. Ayahku mendapat kabar kalau Bibi Aila harus menjalani operasi sekarang. Anggota keluarga dan kerabat-kerabat yang lain sudah berkumpul di depan ruang operasi untuk menunggu kabar dari dokter.

Kami akhirnya berlari menuju ruang operasi. Di sana, nenekku menangis sesenggukan sambil memeluk Bibi Ikah. Ila dan adiknya juga hadir. Ila yang lebih tua tujuh tahun dariku mengajakku dan Ita untuk berdoa bersama demi kabar baik dari dokter. Semua orang di sana tegang.

Jantungku berdetak kencang bagai dipukul bertubi-tubi. Sesaat napasku tercekat. Punggungku terasa sangat panas seperti dicakar oleh elang raksasa hingga darah bercucuran di mana-mana. Perasaan takut terus menghantuiku. Tapi aku tahu, Tuhan pasti tidak akan sekejam itu denganku.

Lima menit kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan. Kami langsung menghadangnya untuk meminta penjelasan.

“Syukurlah, operasinya lancar.” Nenekku jatuh terduduk mendengarnya. Ia menangis sejadi-jadinya karna mendengar kabar bahagia itu.

Dari yang aku dengar, bibiku terkena penyakit usus buntu. Bahkan kami sempat diperlihatkan jaringan usus yang sudah mati, yang dikeluarkan dari tubuh bibi saat operasi berlangsung. Setelah aku pulang pun, aku masih mengingat dengan jelas bagaimana bentuknya. Hitam pekat, mengkerut, seperti mi instan gosong, cukup menjijikkan.

Lihat selengkapnya