Tiga Bintang Paling Terang

Dann
Chapter #17

16. Nasehat Kakek

Tahun 2017

Anak-anak berlalu lalang di koridor kelas, bersenda-gurau dengan teman-temannya sambil memakan camilan yang mereka beli dari kantin. Aku duduk di pelataran kelas, menatap kartu tanda ujian yang melingkar di leher.

Detik berikutnya, aku menghela napas kasar. Belakangan ini aku hampir tak pernah ikut bermain dengan yang lain. Aku sibuk dengan duniaku sendiri, belajar dan terus belajar. Minggu ini jadwalku penuh dengan persiapan ujian akhir semester. Aku akan naik ke kelas enam sebentar lagi dan jadwal belajarku pasti akan lebih padat.

Pukul dua belas siang, bel pulang berbunyi nyaring. Anak-anak mulai memenuhi gerbang depan, menunggu jemputan. Sedangkan aku berjalan ke ruang guru untuk ikut latihan kompetisi madrasah se-Kabupaten yang akan dilaksanakan lima hari lagi. Jujur saja, aku tak pernah ikut lomba semacam ini. Bahkan pidato bahasa Indonesia saja aku belum pernah, apalagi pidato bahasa Inggris. Aku juga tidak dipaksa, namun bodohnya aku mengajukan diri hanya karna sedikit tertarik dengan bahasa Inggris.

Di kelas, nilai bahasa Inggris dan bahasa Indonesia milikku adalah yang paling tinggi. Itulah yang membuatku terlalu percaya diri untuk mengikuti kompetisi ini. Ah, sudahlah. Hitung-hitung menambah pengalaman.

Sampai di ruang guru, aku disambut dengan pembina dan beberapa teman-temanku yang lain. Kami akhirnya memulai latihan. Satu persatu akan disuruh menampilkan penampilan sesuai bidang lomba yang kami ikuti: puisi, pidato bahasa Indonesia, pidato bahasa Inggris, dan MTQ. Kemudian kami akan dikomentari oleh pembina untuk bahan evaluasi.

Penampilanku tampak sempurna saat aku tampil sambil membaca teks pidatonya. Aku belum bisa menghafal keseluruhan teksnya. Apalagi masih terdapat beberapa kosa kata yang belum kuketahui artinya, sehingga aku belum bisa mengekpresikan kata tersebut. Komentar dari pembinaku tak jauh-jauh dari itu. Ia memintaku agar segera menghafalkan keseluruhan teks. Tak hanya itu, ia juga memintaku untuk berlatih menguasai panggung, menyuruhku untuk berjalan ke sana-ke mari, mendekati juri saat berpidato. Aku mengangguk pelan, menerima semua komentar darinya.

Pulang dari sekolah, aku langsung merobohkan tubuhku ke sofa ruang tamu, menatap langit-langit rumah yang penuh dengan sarang laba-laba. Sepeninggalan ibuku, tak ada yang pernah membersihkan rumah. Ayahku juga sudah terlalu lelah untuk bersih-bersih usai bekerja. Hanya aku harapan satu-satunya yang mengurus keadaan rumah ini.

Aku berjalan menuju balik pintu, menyambar sapu yang tergeletak di sana dan mulai membersihkan ruang tamu. Ita keluar dari kamarnya dan membantuku. Kami membersihkan dan menata seisi rumah bersama-sama. Mulai dengan menyapu semua bagian rumah, kemudian menata dan mengorganisir barang-barang yang berserakan, membuang sampah, sampai dengan mengepel teras rumah. Pekerjaan berat itu akhirnya selesai. Kami berbaring di kasur depan TV, beristirahat sejenak di sana sambil menonton kartun yang selalu kami tunggu di jam-jam siang seperti ini.

Tiga puluh menit kemudian, Ita tertidur di sampingku. Aku membiarkannya. Gadis kecil itu butuh istirahat yang banyak. Ia tidak boleh kelelahan atau itu akan membuatnya jatuh sakit. Aku mematikan TV, lalu berganti baju untuk membantu nenekku di kebun. Kemarin, Nenek Utik mengajakku untuk memanen buah jeruk di kebunnya dan aku dengan antusias mengiyakan ajakannya.

Lihat selengkapnya