Malam ini aku sudah menghabiskan tiga buku mata pelajaran untuk kubaca semua pembahasannya. Kepalaku mulai berat, bahkan sesekali tubuhku ingin ambruk ke ranjang dan tidur selama beberapa hari. Sayangnya itu tidak akan secepat itu terjadi. Aku masih harus mencoba mengerjakan latihan akhir semester yang ada di buku. Kegiatan itu kutunda dulu. Barusan, aku diajak ayah untuk menjenguk kakek di rumahnya.
Pelataran rumahnya penuh dengan sepeda motor. Sepertinya banyak kerabat dan tetangga yang berdatangan untuk ikut menjenguknya. Seminggu yang lalu, nenek memberitahu ayahku jika penyakit kakek semakin parah. Bahkan sekarang ia tidak bisa berbicara apa-apa, terbaring lemas di kasur. Waktu itu aku sempat menangis di sampingnya. Dadaku sesak seperti terkikis sedikit demi sedikit. Aku tidak mau kehilangan lagi. Batinku berkali-kali.
Aroma obat-obatan menyeruak keluar saat kubuka pintu rumah nenek. Orang-orang menatapku sebentar, lantas kembali beralih ke kakekku. Nenek melambaikan tangan, menyuruhku untuk segera duduk di sampingnya dan ikut membaca tahlil. Ayahku sudah ada di sana, memimpin tahlil untuk memohon kesembuhan bagi kakek.
Mataku berkaca-kaca. Sebentar lagi sepertinya akan turun dengan deras. Melihat wajah pilu dan pucat kakek membuatku benar-benar sedih. Rasanya baru kemarin aku mendapatkan nasehat darinya. Nasehat itu benar-benar membuatku bangkit dan bersabar untuk semua keinginanku di dunia. Aku tidak mau kehilangan satu orang lagi.
Tahlil selesai lima menit kemudian. Aku segera beranjak dari rumah nenek dan pulang ke rumah, lantas menangis sesenggukan di kamar. Tak ada orang di sana. Adikku juga di rumah nenek, pasti pulang setelah ayahku selesai membantu nenek beres-beres. Aku bisa menangis dengan keras. Belakangan ini aku jarang menangis. Aku tidak mau kelihatan rapuh di depan semua orang. Bagaimanapun juga, aku ingin terlihat kuat walau di dalam sedang amburadul.
Tangisku bergema di dalam kamar. Tak apa, aku berharap ibu dan bibiku mendengarnya dari sana dan mungkin bisa memelukku walau terasa tak kasat mata.
Esok harinya, sebelum berangkat ke sekolah, aku mampir untuk melihat kakek. Lelaki itu masih berbaring tak berdaya di kasurnya, menatap kosong langit-langit rumah.
“Kok belum berangkat, Ka?” Nenekku keluar dari kamarnya sambil membawa segelas air dan beberapa obat yang diberikan dokter untuk kakek. Wajahnya terlihat tidak sehat. Garis-garis penuaan benar-benar terlihat di sana. Kantung matanya gelap. Ia bahkan tidak mengganti baju yang ia pakai dari kemarin. Sepertinya ia benar-benar kelelahan merawat kakekku. Aku menganggapnya sebagai bentuk cintanya kepada kakek.
“Mau bantu kakek minum obat,” jawabku sambil duduk di dekat kakek.