Tahun 2024
Air hujan menggenang di mana-mana. Klakson dan deru kendaraan menghiasi pusat kota. Rintik hujan terus turun tanpa henti, mengundang satu-dua petir yang menggelegar di awan-awan yang kian menghitam. Aku baru saja sampai di halte, membersihkan kotoran-kotoran bekas genangan air yang menempel di celanaku. Di bulan-bulan seperti sekarang ini, udara kota benar-benar sangat dingin. Aku ingin segera pulang dan menyelimuti diriku dengan selimut yang hangat, atau setidaknya memasak mi instan dan memakannya sembari menonton film. Tapi sepertinya itu hanya bayanganku saja.
Aku membuka aplikasi chatting online untuk melihat apakah ada kabar dari ayahku. Ternyata tak ada apapun di sana. Gelembung obrolan yang kukirim dari dua hari yang lalu saat aku bercerita tentang beasiswaku yang gagal dan meminta uang saku bulanan, hanya dibaca olehnya, tak ada respon apapun. Entahlah, rasanya aku sudah mencoba untuk berhemat dengan cara yang praktis sampai tragis, tapi tetap saja uang itu habis sebelum waktunya. Kebutuhan kuliahku begitu banyak dan aku terlalu takut untuk membicarakannya dengan ayahku.
Layar ponsel di tanganku mati, memperlihatkan pantulan wajah pemiliknya yang basah karna kehujanan. Tak lama kemudian bus merah yang kutunggu berhenti. Orang-orang berdesak-desakan naik, takut ketinggalan. Bus kemudian bergerak menuju ke halte selanjutnya.
Sayang sekali, tempat duduk di dalam sini sudah penuh. Bahkan orang-orang di bagian tengah juga berdesak-desakan berebut pegangan agar mereka tidak terjatuh saat berhenti atau berjalan secara mendadak.
Bus berhenti di halte selanjutnya. Tak ada penumpang yang turun. Sebaliknya, banyak penumpang yang ikut naik, semakin berdesak-desakan dengan yang lainnya. Tubuhku terpojok, menempel erat dengan kaca besar di samping kanan bus. Rintikan hujan membasahinya bak air mata.
Seorang kondektur perempuan menghampiriku, menagih biaya tumpangan. Aku menunjukkan kartu tanda mahasiswa elektronik dari website resmi kampus, lalu membuka aplikasi bank elektronik untuk membayarnya secara online. Sial. Secara tiba-tiba, aplikasi itu tidak bisa dibuka. Aku hanya tersenyum ke arah perempuan itu dan meminta maaf untuk menunggunya sebentar. Namun ia abai, lebih baik ia melayani penumpang lain terlebih dahulu dan meninggalkanku yang tengah panik.
Aku terus mencoba berbagai cara sampai dengan mengaktifkan ulang ponselku. Nihil. Aplikasi itu tetap saja tidak bisa dibuka.