Tiga Bintang Paling Terang

Aiden
Chapter #20

Asap

Beberapa hari kemudian, aku bertukar cerita dengan ayahku lewat telepon, membicarakan banyak hal termasuk kegagalanku dalam meraih beasiswa yang kujanjikan sampai dengan keuanganku yang kacau. Aku bersyukur ayah tidak terlalu marah kepadaku, walau keluhannya mengenai finansial yang benar-benar kubenci selalu masuk ke dalam telinga.

Keesokan harinya, Rea mengajakku untuk mengerjakan tugas bersama. Kami memang belajar di jurusan yang berbeda dan ini bukan untuk pertama kalinya kami mengerjakan tugas bersama. Aku mengenal perempuan itu sejak pengenalan kehidupan kampus. Kami sering bertukar obrolan di grup chat, lalu membicarakan hal-hal lucu sampai akhirnya dapat bertemu secara langsung di kampus.

Berbeda dengan kebanyakan anak muda yang memilih cafe untuk tempat mengerjakan tugas, kami malah mencari angkringan atau Warteg yang pas untuk kegiatan tersebut sekaligus makan malam. Tentu saja tempat itu selalu didominasi oleh bapak-bapak, tapi Rea dapat beradaptasi dengan baik. Menurutku, ia adalah spesies langka yang pernah aku temukan dalam hidupku. Tak jarang ia lebih aktif dan lincah hingga nyaris menguras semua energi dalam tubuhku.

“Re, mau minum apa?” tanyaku sembari menghampiri bapak pemilik Warteg.

“Kopi hitam ada nggak?”

“Ada, mbak!” sahut bapak itu sambil mengacungkan ibu jarinya.

“Sama milo dingin satu ya, Pak.” Aku kembali duduk di depan Rea. Perempuan itu sudah mulai mempersiapkan senjatanya, mengeluarkan kertas dan berbagai varian pensil dengan ukuran yang beragam.

“Gimana kuliahmu?” tanyaku tiba-tiba. Kami jarang bertemu akhir-akhir ini, terlalu sibuk dengan tugas masing-masing.

“Saranku jangan tanya, sih,” jawab Rea singkat. Tiba-tiba ia menjatuhkan kepalanya ke meja sambil bergumam, “aku sangat benci dengan dosenku. Sebaik apapun aku menggambar, tetap saja tidak bisa dapat nilai bagus.”

Aku terdiam. Lebih baik mendengarkan perempuan itu terlebih dahulu. Aku yakin ceritanya masih berlanjut.

“Kau tahu gambar ini?” Rea menunjukkan salah satu gambar karyanyanya kepadaku. “Bagaimana menurutmu?”

Sebagai mahasiswa Sastra Indonesia yang sama sekali tidak familiar dengan tugas-tugas anak Seni Rupa Murni dan tidak ingin menyakiti perasaanya, aku bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. “Bagus.”

“BOHONG!” teriaknya tiba-tiba. Semua mata tertuju kepada kami selama beberapa saat. “Nyatanya, dosenku malah bilang sebaliknya dan memarahiku.” Perempuan itu kembali menenggelamkan wajahnya ke permukaan meja. Aku menepuk pundaknya pelan, mencoba menenangkannya.

“Re!” Seseorang mengejutkan kami. Lelaki dengan topi hitam tiba-tiba menghampiri meja kami, berbicara dengan Rea. “Kamu ngapain di sini?”

“Hai,” balas Rea pelan. “Kamu nggak lihat aku lagi ngerjain tugas?”

“Oke-oke, maaf.” Lelaki itu duduk di samping Rea. “Numpang duduk ya, sambil nunggu temanku beli makanan.” Kami berdua mengangguk menyetujuinya, lantas mulai untuk mengerjakan tugas masing-masing.

Meja kami hening. Rea tenggelam ke dalam tugas yang sudah membuatnya muak, begitu juga denganku. Lelaki di samping Rea mengeluarkan batang rokok, kemudian menyalakannya. Kepulan asap di mana-mana, bahkan menampar wajahku berkali-kali. Aku berusaha untuk tetap fokus ke tugasku dan tidak mempedulikannya. Jika aku menegurnya hanya karna tidak nyaman, aku yang akan disalahkan. Lagipula ini Warteg, tentu saja banyak bapak-bapak yang merokok di berbagai sudut. Aku hanya belum terbiasa dengan trauma masa laluku saja.

Lihat selengkapnya