Tiga Bintang Paling Terang

Dann
Chapter #21

20. Teman Sedari Kecil

Matahari bersinar cerah pagi ini. Angin segar menggoyangkan ranting dan daun-daun pohon di sekitar kampus. Aku, Fani, dan Iza duduk di gazebo kecil setelah mengikuti kelas online pukul tujuh pagi. Sekarang kami mempersiapkan diri untuk wawancara kepanitiaan.

Beberapa hari yang lalu, mahasiswa baru di jurusanku sempat heboh karna sebuah event yang membuka kesempatan untuk menjadi panitia. Dari yang aku dengar, komunitas yang menyelenggarakan event tersebut terkenal dengan banyak program kerjanya yang sukses besar. Jika kami bisa terjun dan ikut menjadi panitia, bukankah kami akan mendapatkan poin yang cukup besar untuk mengisi rekap poin prestasi mahasiswa?

“Oke, pertanyaan selanjutnya. Apa alasan kamu ikut kepanitiaan ini?” Iza melontarkan pertanyaan kepada Fani. Keduanya sudah melakukan latihan yang sama berulang kali, sejak kelas online dimulai pagi tadi.

“Untuk mengisi rekap poin prestasi mahasiswa lah, Kak.” Keduanya kemudian tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban tak terduga dari Fani.

“Aduh, aku takut kalau tiba-tiba nggak bisa jawab di tengah-tengah wawancara,” ujar Iza pelan, sembari menutup buku tulis yang berisikan kumpulan pertanyaan wawancara.

“Tenanglah, aku yakin kita semua lolos.”

“Kalau Arka yang ngomong, sih, aku bisa yakin,” celetuk Fani. Kami tertawa bersama setelah itu.

Sepuluh menit lagi, tes wawancara akan dimulai di gedung auditorium jurusan kami. Karna banyaknya peserta yang mendaftar dan lolos tahap seleksi berkas, maka tes wawancara akan dilaksanakan selama tiga hari. Kami mendapat giliran wawancara di hari pertama, bersama dengan seratus orang lainnya, mulai pagi sampai malam datang. Begitulah yang kudengar.

Kami sampai di ruangan tempat tes wawancara dilaksanakan, lantas duduk di kursi yang sudah tertata rapi menghadap panggung besar. Di samping kanan kami, terdapat lima bilik kecil yang digunakan untuk wawancara bersama panitia inti. Aku meneguk ludah dalam-dalam saat tak sengaja mendengar beberapa pertanyaan sulit yang bocor dari kakak panitia yang mengobrol sana-sini.

“Aduh, jantungku kayaknya belum siap.” Fani berkeluh kesah.

“Santai, kayak aku.” Iza mengangkat salah satu kakinya, menatap ponselnya sambil memasang wajah seakan tidak akan terjadi apa-apa setelah ini. Bohong sekali. Aku bahkan bisa melihat dengan jelas kalau jantungnya juga berdebar. Lihatlah, telapak tangannya yang memegang ponsel saja bergetar tanpa henti.

Tak terkecuali diriku, kami semua sama-sama belum siap untuk melakukan tes wawancara. Aku bahkan tidak menyiapkan jawaban yang bagus dan meyakinkan, seperti yang dilakukan Fani dan Iza pagi tadi. Kemarin malam aku begadang untuk mengerjakan tugas presentasi dan tadi pagi aku yang harus mempresentasikan itu di depan dosen bersama kelompokku. Tak ada waktu untuk menyiapkan ini semua. Aku hanya bisa berharap semoga impian kecil ini bisa tercapai.

Lihat selengkapnya