Tiga Bintang Paling Terang

Aiden
Chapter #22

Rumah Kedua

Deru kendaraan bermotor mengiringi matahari yang mulai beranjak naik. Tak ada tanaman dan tumbuhan yang bergoyang, tanda angin tak bertiup sedikit pun. Orang-orang merapatkan topi yang ada di kepala mereka, mencoba menghalangi sinar matahari menyilaukan mata. Begitu pun denganku. Kali ini Surabaya lebih panas dari biasanya. Bodohnya aku malah memakai baju pendek karena percaya sore harinya akan turun hujan. Walau firasatku terkadang benar, melihat berwarna langit biru penuh membuatku ragu jika sore akan hujan.

Aku mencoba berteduh di bawah halte sembari menunggu bus datang. Orang-orang mulai berdatangan ke sini, berdiri di samping kanan dan kiri halte, suasana pulang kuliah di siang bolong. Setelah beberapa saat, bus yang akan kunaiki datang. Pintunya terbuka lebar dan orang-orang langsung berhamburan masuk, takut jika mereka tidak kebagian kursi atau lebih parah ketinggalan. Beruntungnya tubuh mungilku muat untuk menyalip orang-orang yang berhenti di bagian depan bus dan langsung menduduki bangku belakang yang kosong. Tak lama kemudian, bus melipir ke tengah dan melesat ke jalanan.

Hari ini aku akan bepergian jauh, menelusuri berbagai wilayah di kota Surabaya dan mengunjungi Lina yang ada di ujung utara. Kemarin aku diminta untuk membantunya mengerjakan tugas mata kuliah jurnalistik miliknya. Aku dengan semangat mengiyakan. Kami sudah lama tidak bertemu dan mungkin hari ini adalah waktu yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama.

Aku membuka jendela, menikmati udara Surabaya yang panas. Beruntung AC di dalam bus benar-benar berhembus kencang dan dingin. Perjalanan hari ini akan memakan waktu 51 menit. Jarak indekosku ke rumah Lina adalah 22,4 km dan mengharuskanku transit sebanyak tiga kali. Tapi aku sudah terbiasa dengan itu. Ini bukan pertama kalinya aku ke rumahnya yang ada di Surabaya.

Dulu saat masih sibuk dengan acara pengenalan mahasiswa baru dan lingkungan kampus, aku mengunjungi Lina beserta keluarganya karena hendak mengerjakan tugas bersama. Itu adalah momen untuk pertama kalinya aku mengunjungi rumahnya yang ada di Surabaya, tepat seminggu setelah aku datang ke Surabaya untuk pertama kalinya juga. Walaupun kami beda jurusan, namun tinggal dan kuliah di kota yang sama dan universitas yang sama adalah keinginan kami saat di SMA. Meskipun awalnya Lina sempat bermimpi untuk menempuh bangku perkuliahan di Jawa Barat, ia harus menerima takdirnya yang menuntutnya belajar di kota pahlawan ini, tempat ayah dan ibunya bekerja.

Kehidupan kami di desa dan di kota tak jauh berbeda. Kami selalu terpikirkan dengan masalah keluarga, terutama finansial, ikut menjadi tulang punggung keluarga, dan jadi tempat penampung harapan orang tua yang sangat tinggi. Itu yang membuat kami semakin dekat. Walau usia kami terpaut dua tahun dan usia pertemanan kami masih tiga tahun, rasanya benar-benar seperti saudara.

Setelah melakukan transit yang terakhir, aku sampai di depan pintu masuk rumah sakit yang akan menjadi tempat Lina menjemputku. Pemberhentian bus terakhir yang dekat dengan wilayah rumah Lina terletak di sana. Jika aku tertidur dan melewatkan pemberhentian itu, aku malah akan semakin jauh dengan rumahnya dan entah ada di mana aku.

“Halo, Lin, aku udah di depan rumah sakit.” Aku segera menghubungi perempuan itu, tidak mau menunggu lama-lama seperti orang hilang. Bagaimana jika aku tiba-tiba diculik orang di bawah pohon rindang yang sangat sepi ini?

Oke, tunggu bentar, ya,” jawab Lina dari telepon, kemudian panggilan diputuskan sebelah pihak. 

Sembari menunggu perempuan itu, aku memutuskan untuk menyusuri jalanan dan masuk ke salah satu gang terdekat. Aku yakin gang ini akan mengantarku lebih dekat dengan Lina, dan ia akan berterimakasih kepadaku karena telah bersedia untuk berjalan sedikit agar ia tidak jauh-jauh menjemputku. Aku memang teman yang baik hati. Lelah? Aku sudah terbiasa jalan kaki berapapun jaraknya. Kecenderunganku naik transportasi umum di kota besar ini, memaksaku untuk berjalan kaki jika jarak pemberhentian bus dengan tempat yang kutuju agak jauh.

Aku memasang earphone dan memutar musik agar semangatku untuk jalan tidak surut. Itu salah satu strategi untuk membuatku betah berjalan kaki. Jika tidak ada musik, mungkin aku sudah dianggap gila karena sering berbicara dengan diri sendiri. Entahlah, tiba-tiba sesi refleksi dan introspeksi diri berlangsung selama perjalanan.

Sepuluh menit kemudian, aku berhenti di ujung gang, lantas mengernyitkan dahi. Ponselku terus bergetar, memintaku untuk terus maju. Tapi apa yang kulihat sungguh di luar dugaan. Tepat di depanku, sebuah dinding yang menjulang tinggi berdiri kokoh. Di sisi depannya terdapat banyak retakan dan coretan. Sisi lainnya ditumbuhi lumut-lumut hijau yang terlihat sudah bertahun-tahun. Tunggu, apa aku salah jalan? Sekali lagi aku mengecek layar ponselku. Aku memperbesar skala peta yang ada di sana, terlihat sebuah jalan yang terbentang luas di depan sana, berbanding terbalik dengan apa yang aku lihat secara nyata.

Aku berbalik, menatap ibu-ibu yang tengah mengelilingi penjual sosis goreng di pinggir jalan. Sebenarnya aku ingin bertanya kepada mereka wilayah rumah Lina, tapi aku malu jika mereka sudah terlanjur melihatku kebingungan saat bertatapan dengan dinding tinggi itu. Keputusan yang kuambil adalah berbaur dengan mereka. Aku masuk ke lingkaran itu dan membeli sosis goreng seharga lima ribu untuk dimakan selama perjalanan. Wajahku polos, berlagak seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelum ini. 

Lihat selengkapnya