Tiga Bintang Paling Terang

Aiden
Chapter #24

Pegang Tanganku

Pagi ini, mataku berat untuk terbuka lebar. Tubuhku seperti diikat paksa di ranjang. Hari ini hari Minggu. Biasanya aku akan keluar dan melakukan rutinitas, jalan-jalan sembari menikmati udara segar. Namun kali ini, aku hanya ingin tertidur di ranjang sialan ini. Tak ada energi yang mendiami tubuhku. Semuanya sirna, sama seperti mimpi-mimpiku. Oh, aku ingat. Ada dialog yang sangat kusuka dari sebuah film yang baru kutonton. Orang biasa sepertiku ternyata harus sadar diri jika ingin memiliki mimpi.

Teman sekamarku, Rian membawakanku sarapan dan menaruhnya di meja belajar. “Bangunlah! Makanlah sebentar. Tubuhmu harus ada isinya.” Aku bisa mendengar ia menghela napas di akhir, lantas pergi keluar meninggalkanku. 

Pelan-pelan, aku memaksa tubuhku bergerak, bangkit dan duduk di tepi ranjang. Tak sengaja, netraku menatap refleksi wajah seseorang dari cermin lemari. Siapa yang ada di sana? Aku tidak mengenalnya. Wajahnya sungguh kusut, pucat pasi. Matanya membesar dalam semalam karena terlalu banyak mengeluarkan air. Rambutnya berantakan bak kucing yang habis bertengkar dengan yang lain. Apakah ia datang dari alam kubur? Apakah ia baru bangkit dari kediamannya? Bayangan itu benar-benar seperti zombie dan monster dalam waktu yang sama. Lama kusadari bahwa bayangan itu milikku. Aku lah yang ada di sana. Diam bak mayat hidup yang siap memakan otak manusia.

Aku meraih kursi di depan meja belajar, lantas duduk di sana dengan susah payah. Bubur kacang hijau di depanku berbisik menyemangati. Ia bilang jika aku memakannya, maka mimpi-mimpiku akan kembali. Sialan! Omong kosong macam apa itu? Jelas-jelas tidak ada keberuntungan yang akan datang lagi padaku. Mau aku makan atau tidak, tidur atau tidak, semuanya akan sama. Aku tak punya mimpi lagi untuk diperjuangkan. 

Ponselku berdering. Nama grup obrolan di ponselku muncul begitu saja di layar. Mereka mungkin sudah mendengar kabar itu, entah darimana. Mungkin alam memang ingin membagikan aibku kepada semua orang yang kukenal. Aku mengangkatnya, lantas mendengarkan semua pertanyaan yang mereka lontarkan. Mulutku tertutup, urung untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan memuakkan itu. Sampai pada akhirnya mereka memberikanku saran dan motivasi. Aku menutupnya sebelah pihak saat itu juga. Saran dan motivasi itu memuakkan. Orang-orang seakan ingin aku bangkit dan merasakan lebih banyak hantaman dari dunia yang pahit ini. Bagaimana jika aku menghilang saja? Apakah akan ada yang mencariku? Apakah akan ada yang menangis begitu keras untukku? Apakah akan ada orang yang merindukanku? Sepertinya pemakamanku akan sepi. Oh, tidak. Bagaimana mungkin sepi? Wartawan akan berbondong-bondong datang ke rumah untuk mengulik bagaimana mahasiswa berusia tujuh belas tahun mengakhiri hidupnya dengan mengenaskan. Lalu namaku tersebar di mana-mana. Kisah dramatis ini akan terus jadi bahan tertawa di seluruh tempat. 

Alih-alih membuka kemasan dan memakan bubur itu, aku kembali ke ranjang, membungkus tubuhku kembali dengan selimut, dan selamat tinggal dunia sialan.

Esok harinya, aku terpaksa harus bangun pagi-pagi. Kuliahku akan mulai pukul tujuh pagi ini. Sialan. Jika bukan karena dipaksa oleh keempat temanku untuk datang, aku tidak akan datang. Tidak, aku tidak akan mengirimkan surat izin. Biarkan aku menghilang tanpa kabar. Aku terlalu membuang-buang energi untuk surat yang mungkin tidak akan pernah dibaca oleh dosen itu sendiri, percayalah.

Tak seperti biasanya, aku langsung berjalan menuju kelas saat sampai di gedung fakultas, dibanding menunggu Fani dan Iza di halaman. Cara berjalanku bahkan berbeda dari hari-hari sebelumnya. Hari ini lebih mirip zombie. Suara langkahku yang kupaksa terdengar keras di telingaku sendiri. Aku tak peduli. 

Sesampainya di kelas. Ternyata mereka sudah ada di sana. Iza, Fani, Han, Zizy, Nita, Cici, dan Harum, menyambutku dengan senyum lebar. Mereka duduk melingkar dengan kartu uno yang sudah berada di tengah-tengah. Dengan cepat Han mengajakku duduk dan melepas ransel yang ada di punggungku. Sial, di saat-saat seperti ini aku harus memasang topeng. Senyumku merekah pelan-pelan. Walau terasa sangat berat, aku terpaksa melakukannya. Aku tidak ingin mereka ikut menanggung beban yang ada di hidupku. Sungguh, aku tidak ingin merepotkan mereka karena harus ikut terlibat dengan masalahku.

Lihat selengkapnya