Angin berhembus kencang, menerbangkan pernak-pernik jendela yang kubuat dari kerang. Bunyinya menenangkan hatiku. Perasaanku benar-benar damai pagi ini. Aku bisa tidur dengan nyenyak. Mimpi itu tak datang lagi. Pikiran itu pelan-pelan menghilang dari kepalaku, dan hari ini, untuk pertama kalinya aku merasa bahwa kedepannya aku akan baik-baik saja.
Pukul tujuh pagi, aku membereskan barang-barangku dan membawanya turun ke halaman. Fani baru saja mengirim chat kepadaku bahwa ia dan ibunya akan sampai tiga puluh menit lagi. Aku menunggu di sana sembari duduk di bebatuan kecil dan menjaga barang-barang besar milikku. Tepat setelah bangun dari tidur dan membersihkan diri tadi, aku sudah berpamitan dengan Farhan, teman satu kamarku. Walaupun hanya menetap selama seminggu, kurasa kami sudah dekat satu sama lain.
Ternyata begini kehidupan orang nomaden dulu. Kupikir mereka berpindah-pindah tempat tinggal karena sudah bosan dengan suasana di sekitar mereka atau bagaimana. Mereka mencari tempat yang menurut mereka nyaman. Orang-orang sepertiku mencoba bertahan lebih lama lagi di dunia dengan mencari sesuatu yang orang-orang sebut sebagai ‘rumah’. Sesuatu yang menurut mereka adalah tempat paling nyaman untuk melepas penat. Lain bagiku, rumah di manapun itu, membuatku sesak hingga kehilangan napas.
Seperti yang pernah dibicarakan oleh ibu Fani. Saat sudah mulai bekerja di bisnis tempat latihan taekwondo milik kepala keluarga tersebut, aku diharuskan tinggal di sana untuk memonitori administrasi, pendataan member, dan lain sebagainya. Sesuai dengan tugasku sebagai admin.
Persis dengan perkiraan Fani, tiga puluh menit kemudian mobil keluarganya berhenti di halaman asrama untuk menjemputku.
“Tepat waktu, kan?” Fani keluar dan melambaikan tangan kepadaku. Aku membalasnya dengan anggukan kepala. “Angkat gih, taruh di bagasi! Barang-barang kecil kayak tas, atau ransel taruh di bangku belakang aja.”
Aku mengiyakan perintahnya dan kami mulai memasukkan satu persatu barangku ke mobil. Awalnya kami khawatir jika tidak bisa membawa semua barang sekaligus. Apalagi dengan lemari plastik yang cukup besar, kupikir lebih baik pesan ojek online mobil untuk membawa lemari itu bersamaku ke sana. Namun, ibu Fani tidak setuju. Setelah dicoba-coba kembali, lemari itu ternyata muat ditaruh di bangku belakang bersamaku. Jadi aku harus kuat menopangnya dengan paha. Mau bagaimana lagi? Muat dimasukkan ke dalam mobil saja sudah membuatku begitu bersyukur.
Dengan susah payah, aku membuka jendela mobil dan menikmati angin sepoi-sepoi menerpa wajahku. Saat ini juga, aku ingin menangis bahagia. Bertemu dengan Fani dan keluarganya, serta teman-teman suportif yang selalu membantu, benar-benar membuatku begitu bersyukur. Tapi di sisi lain, aku takut jika tidak bisa membalas kebaikan mereka.
Dua puluh menit berlalu. Usai menerjang kemacetan yang merajalela dan panasnya Surabaya. Kami tiba di perbatasan kota sebelah dan akhirnya sampai di camp pelatihan. Fani membantuku mengeluarkan barang-barang dan membawanya ke lantai dua, gudang yang akan kusulap menjadi kamar yang bersih dan nyaman. Dalam hal ini, aku lah jagoannya.
Terdapat dua ruangan di lantai atas yang bisa menjadi kamarku, karena pada dasarnya, camp ini terdiri atas dua ruko yang digabung menjadi satu. Namun aku memilih ruangan yang digunakan untuk gudang. Alasan pertama, aku lebih baik tidur sendirian daripada harus tidur bersama orang lain. Itu adalah sesuatu yang kusesali selama semester pertama, sungguh. Aku takut menjadi beban bagi teman sekamarku dan takut jika teman sekamarku menjadi beban bagiku. Alasan kedua, saat survei kemarin, ruangan sebelah sudah penuh dengan barang-barang milik para coach yang juga bekerja dan tinggal di sini. Akhirnya tersisa ruangan bekas gudang di sebelah. Lagipun, ruangannya cukup besar untuk kutinggali sendirian, jadi aku bisa leluasa menaruh barangku sana-sini. Barang-barang bekas milik keluarga Fani juga ditata rapi dalam box di pojok ruangan, sehingga menyisakan banyak sekali sudut kosong untuk kugunakan sebagai kamar. Walaupun hal yang paling seram adalah jendela besar di ruangan ini tidak bisa kututupi. Alhasil, aku akan sangat ketakutan jika hujan badai datang. Bayangkan, akan seterang apa kilat halilintar yang tiba-tiba lewat di jendela sebesar gawang itu.