Tiga Bintang Paling Terang

Aiden
Chapter #26

Mantra

Kau pasti tahu, bahwa manusia juga bisa menjadi penyihir yang suka merapalkan mantra-mantra agar dapat memunculkan kekuatannya. Mantra itu dikumpulkannya ke dalam sebuah buku yang ia tulis, sehingga dapat digunakan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Dari sekian banyaknya mantra yang dibuat dan diabadikan, ia selalu punya satu mantra kesayangannya. Dengan satu mantra itu, penyihir seakan mendapat banyak sekali energi dan kekuatan untuk beraksi serta mencapai tujuannya. Kusadari kini, bahwa manusia biasa sepertiku juga melakukan hal yang sama.

Bukuku berserakan di mana-mana. Debu-debu beterbangan, bersama dengan kipas yang terus menghembuskan angin ke kanan dan ke kiri. Udara panas menyeruak masuk melalui jendela besar di kamarku. Bukannya beristirahat setelah membersihkan lantai bawah, aku malah memutuskan untuk merombak kembali kamar ini. Beberapa hari yang lalu, Pak Roni membawa beberapa box berisi barang-barang bekas dari rumahnya dan ditaruh di kamarku, di pojok yang sekarang kusebut sebagai ‘gudang mini’. Sudut itu kini sangat penuh dengan barang-barang bekas yang sebenarnya masih bagus, hanya saja kumuh. Dari semua sudut di ruangan ini, hanya sudut itu yang banyak menjadi tempat tinggal nyamuk. Terkadang aku tidak betah lama-lama di sana saat menunggu bak mandiku terisi. Jaraknya dari pintu kamar mandi hanya satu langkah. 

Aku mengeluarkan semua baju dan barang dari lemari. Entah kenapa rasanya banyak sekali yang kubawa dari rumah. Padahal waktu tinggal di indekos atau di asrama, kurasa tidak sebanyak ini. Aku terkejut jika ternyata banyak sekali baju yang belum pernah kupakai. Saat kucoba, baju itu sudah tidak muat lagi. Akhirnya kuputuskan untuk memisahkannya ke sebuah kardus, siapa tahu bisa didonasikan.

Lanjut merapikan buku-buku di keranjang. Aku mengoleksi begitu banyak buku self-improvement. Padahal, membaca satu-dua halaman saja sudah bikin mata berat karena isinya yang penuh daging. Ada beberapa novel yang kuperoleh karena tugas. Semester satu dan perjalanan semester dua ini, aku mendapatkan banyak sekali tugas analisis. Satu tugas selesai, tumbuhlah seribu tugas lagi yang menanti. Kebanyakan tentang analisis, entah cerpen maupun novel. Jika sudah kedapatan analisis novel, terpaksa harus kubeli novel fisiknya. Aku tidak mau menyakiti mata mungilku ini jika harus membaca e-book sampai berlembar-lembar. Walaupun buku bekas, setidaknya bisa kubaca sampai selesai dengan nyaman dan tidak menyakiti indera penglihatan.

Di bawah buku-buku itu, terdapat box seukuran kotak makan berwarna biru muda dengan stiker berbentuk bintang dan langit-langit yang tertempel di tutupnya. Beberapa stiker sudah robek, bahkan ada beberapa juga yang luntur terkena air entah darimana. Aku bahkan tidak ingat punya kotak itu. Setelah kubuka, di dalamnya terdapat banyak sekali kertas yang terlipat menyerupai sebuah surat, mulai dari ukuran kecil hingga besar. Jenisnya pun beragam, ada yang dari origami, HVS, binder, dan ya ampun, sobekan kertas bekas makalah.

Aku mencoba untuk membuka satu persatu kertas-kertas itu dan kudapati sebuah surat atau kata-kata yang sepertinya familiar bagiku.

“Rumah paling nyaman bagimu adalah dirimu sendiri,” ujarku membaca kalimat di salah satu kertas itu. Tak sadar aku tersenyum selagi membacanya dan mencoba untuk memeriksa kertas-kertas yang lain.

Tibalah aku pada sebuah kertas binder berwarna biru langit dengan stiker kucing yang mengaitkan dua ujung kertas agar menyerupai sebuah amplop. Sesaat setelah kubuka kertas itu, senyumku seketika surut. Sesuatu seakan datang dengan cepat ke kepalaku dan tak sengaja mendobrak hatiku yang sedang bahagia. Sebuah nama yang indah tertulis di sana, dengan tulisan besar yang cantik seperti namanya..

Air mata menetes ke pipiku. Jantungku berdebar dan darahku mengalir sangat cepat. Tak sadar, tanganku mengelus lembut ujung kertas dan ukiran nama yang terbuat dari pena itu. Kubaca pelan-pelan kalimat yang ada di sana. Tangis dan rasa rindu ini tak lagi bisa kubendung. Ini sudah lebih dari lima tahun, dan perasaan rindu ini tidak juga hilang, malah semakin bergejolak. Aku mencoba untuk menilik kembali memori itu.

Saat itu, umurku sepuluh tahun dan tengah duduk di bangku kelas empat SD. Kau ingat cerita singkatku saat menjenguk ibu di rumah sakit? Akan kuceritakan sedikit lebih panjang. 

Lihat selengkapnya