Jendela besarku terang oleh kilatan petir. Suara gemuruh hujan memenuhi kota. Malam ini, awan gelap memenuhi atmosfer. Tak ada bintang dan bulan. Bahkan mereka bertiga sepertinya juga ketakutan untuk muncul di langit yang luas. Udara dingin bertiup kencang, menerbangkan daun-daun di ranting pohon dan semak-semak yang bergoyang, hingga mendorong jendelaku untuk tertutup rapat seketika. Suaranya begitu keras hingga membuatku takut.
Tak ada seorang pun di sini. Para coach sedang ada jadwal mengajar di luar camp untuk para anggota privat. Hanya ada aku dan beberapa kilatan petir yang setia menemani.
Aku mencoba untuk tetap fokus mengerjakan tugas karena tenggatnya akan segera datang, kurang dua jam lagi. Tidak bisa kubayangkan bagaimana teriakan dosenku jika terlambat mengumpulkannya. Sepertinya suara petir saja bisa dikalahkan. Namun, bukan berarti menurutku suara petir tidak menakutkan. Mereka bahkan beberapa kali mengusikku sampai harus mengurung diri di dalam dekapan selimut. Padahal peristiwa itu sudah bertahun-tahun yang lalu, namun perasaan takutnya masih sama. Aku masih punya trauma itu hingga sekarang. Sudah berkali-kali kucoba untuk mengabaikannya dengan memakai earphone dan meninggikan volume musiknya. Nihil. Suara petir bisa menembusnya.
Di rak buku, ponselku berdering. Muncul kontak dengan nama ‘Ibu’ di layar. Bukannya mengangkat, aku malah menghela napas kasar dan menunggu hingga terputus dengan sendirinya. Bukan, itu bukan ibuku yang berada di surga. Pada semester lalu, aku sudah mendapatkan ibu baru dan akhirnya ayahku menikah lagi. Namun sejujurnya, aku tidak pernah mengharapkan itu. Benar saja, semuanya jadi acak-acakan. Ini sudah kelima kalinya ia meneleponku dan meminta ayahku untuk mengabarinya. Lantas, bagaimana caraku menghubungi ayah jika ponsel pria itu rusak? Aku bahkan tidak bisa meminta uang saku bulanan dan akhirnya membobol tabunganku sendiri yang sudah mulai terisi.
Seminggu yang lalu saat aku pulang ke desa karena libur hari raya, perasaanku berkata bahwa aku harus segera pulang kembali ke Surabaya. Rumahku berisik. Ayah dan ibu tiriku selalu bertengkar lewat telepon, tak mengenal waktu, tak kenal tempat. Aku tak peduli jika tetangga mencibir keluargaku, itu terserah mereka, toh yang dosa juga mereka. Tapi ini sudah keterlaluan hingga mengganggu kedamaianku. Aku pulang ke desa untuk berlibur dan beristirahat dari hingar-bingar perkotaan, namun malah diusir secara halus.
Akhirnya aku terbiasa dengan hal tersebut. Sebenarnya itu sudah terjadi sejak mereka belum menikah dan masih proses pengenalan keluarga atau biasa disebut sebagai lamaran. Mereka sudah bertengkar lewat telepon saat itu, karena ibu tiriku bekerja di luar negeri. Jika boleh jujur, perempuan itu selalu tidak percaya dengan apa yang dikatakan dan dilakukan oleh ayahku dan menudingnya bahwa ia berselingkuh atau bermain dengan perempuan lain, sekalipun itu hanya rekan kerja atau kerabatnya. Atau yang paling sederhana, tidak menjawab telepon dari perempuan itu hanya karena ayahku tertidur. Waktu itu sudah sangat malam, pukul sepuluh tepat, dan ibu tiriku mengajak ribut. Bagaimana aku bisa tahu? Tanyakan saja pada mereka kenapa harus ribut malam-malam! Mereka berdebat soal ayah yang selalu terlambat mengangkat telepon darinya, beranggapan bahwa ayahku mungkin sedang bertelepon dengan perempuan lain. Padahal ayahku juga butuh istirahat.
Lelaki itu hanya berlagak kuat di depan anaknya. Walaupun sebenarnya anak-anaknya tahu betapa rapuhnya ia dari dalam. Lama kusadari bahwa sifat rapuhku menurun darinya. Kami sering memikirkan banyak hal yang seharusnya tidak usah kami pikirkan. Itulah kenapa, persoalan finansial ini walau tidak secara eksplisit, terasa dibagi jadi dua, dan aku ikut berperan aktif dalam urusan itu.
Saat lamaran berlangsung, aku dan adikku tidak diajak. Kami berdiam diri di rumah karena waktu itu ayah hanya bilang akan menghadiri hajat. Tahu-tahu mereka sudah berhubungan. Aku bahkan tidak tahu apa memang itu persyaratan lamaran bagi mereka yang sama-sama kehilangan kekasih dan sudah mempunyai anak-anak dewasa. Yang kutahu, saat itu aku tidak terlalu peduli.
Beberapa hari setelahnya aku banyak berpikir bahwa memang harus kurestui mereka meskipun mereka tidak akan pernah meminta restu kepadaku. Lagi pun aku siapa? Hanya beban keluarga. Aku merasa kasihan dengan ayah yang kesepian selama lima tahun lebih, mengerjakan semuanya sendirian, menanggung perasaan lelah dan sedih sendirian. Pada akhirnya, ia juga butuh pasangan hidup lagi yang akan menemaninya sampai saat-saat itu datang. Aku selalu membantunya mengerjakan urusan rumah, tapi aku tidak bisa menghilangkan rasa lelah dan sedihnya.
Tapi kusadari sekarang, keputusanku saat itu memang salah.
Akhirnya tugasku selesai. Tepat lima menit sebelum mencapai tenggat waktunya. Di luar, hujan badai masih berlangsung. Aku menghampiri salah satu sisi jendela dan melihat dunia luar yang sudah basah kuyup. Beberapa sudut kompleks ini juga sudah mulai digenangi air yang semakin meninggi. Mobil dan motor masih berlalu-lalang di saat-saat seperti ini.