Jam kecil di atas lemariku mengerang keras. Waktunya makan dan lanjut berjaga di lantai bawah. Namun aku masih berdiam diri di depan meja belajar sambil memandangi poster yang kugantung di dinding. Kepalaku bergerak lebih cepat, memikirkan strategi yang matang dengan tenggat yang singkat.
Detik berikutnya, aku membuka laci paling bawah lemariku dan mencari beberapa outline cerpen yang pernah kuikutkan kompetisi, namun tidak juga mendapatkan penghargaan. Siapa tahu dari mentahan-mentahan itu bisa kudapatkan ide untuk novel ini. Dalam waktu tiga bulan dan kegiatannya yang dimulai tiga hari lagi, membuat rancangan baru tidak akan manjur. Lebih baik aku memodifikasi naskah lama atau mengadaptasinya secara blak-blakan. Toh, juga belum ada yang membacanya kecuali juri-juri lomba yang kuikuti. Mereka juga tidak akan ingat isinya.
Akhirnya, aku menemukannya. Sayang sekali kertasnya sudah luntur sebagian. Beberapa tulisannya buram dan tidak dapat dibaca. Namun dari judulnya, aku ingat bahwa itu cerita terbaik dari semua yang pernah kutulis. Kuharap aku bisa memodifikasinya.
Aku membuka lembarannya pelan-pelan. Sebuah judul yang membuatku tersenyum, tertulis di sana, ‘Pelangi Abu-Abu’. Entah kenapa waktu itu aku bisa memikirkan judul yang abstrak dan berkebalikan seperti itu. Kau pasti tahu kalau pelangi punya banyak warna. Namun di pikiranku saat itu, pelangi abu-abu lah yang muncul.
Jika diingat-ingat lagi, waktu itu aku tengah bersedih di kamar indekos sendirian. Lagu melow terus meramaikan earphone yang tertaut di telinga. Aku tak lagi mendengarkan suara dunia luar yang tengah dilanda hujan deras, tak peduli. Tangisanku bertambah keras saat kutuangkan semua perasaanku di cerita itu, bagai memuntahkan seluruh zat sisa yang ada dalam tubuh. Kurasa, jika kesedihan itu tidak segera dikeluarkan, esok harinya aku tidak akan bisa keluar kamar, walau hanya pergi ke kampus sekali pun. Jadilah cerpen itu sebagai media curahan hatiku saat itu.
Aku memungutnya dari laci, lantas membawanya turun bersama dengan perlengkapan lain. Akan kuhabiskan sisa waktuku sampai sore di bawah. Mungkin di atas aku bisa menikmati kekosongan dan sunyinya kamarku. Tapi kau tahu? Di bawah, saat sore hari datang, cahaya jingga yang menerpa pucuk-pucuk pepohonan benar-benar membuatmu takjub. Deru motor dan mobil berkurang. Orang-orang melakukan olahraga ringan di sepanjang jalan. Melihat mereka, jiwa ini seperti diajak untuk produktif. Karena tidak suka olahraga, akhirnya kuhabiskan waktuku di depan laptop dan menuangkan semua imajinasi liarku di sana.
Usai menyalakan laptop, menyiapkan camilan di sampingnya, sekarang waktunya beraksi. Aku menuliskan judul di halaman pertama, lantas menulis nama penaku tepat di bawahnya. Melihat nama penaku tertulis sempurna di sana membuatku sangat berharap jika naskah ini bisa terpilih menjadi juara dan berkesempatan untuk terbit. Kuharap itu benar-benar terjadi.