Suara derap langkah terdengar di berbagai sudut lobi stasiun, diiringi dengan pengumuman kedatangan kereta yang mengerang keras di speaker. Mataku terus terpejam hingga tubuhku hampir ambruk. Beruntungnya di sampingku terdapat sebuah pilar besar yang menangkapku.
Ini pukul tiga pagi. Keretaku akan datang sebentar lagi. Orang-orang berhamburan mulai memegang erat koper dan tas mereka, mendekat ke gerbang yang akan segera dibuka oleh penjaga. Dari kejauhan, klakson kereta api terdengar menggelegar. Sontak kedua pupilku melebar. Rasa kantuk itu hilang seketika. Sorot lampu menerpa wajah segerombolan manusia yang mulai mendekat ke peron, segera membopong barang-barang mereka untuk berebut rak yang ada di dalam.
Aku menarik koper dengan sisa tenaga. Kedua rodanya terus bertabrakan dengan lantai peron yang kasar. Tak lama kemudian, aku berhasil menemukan gerbongku dan masuk, lantas mencari tempat duduk yang sudah kupesan.
Di luar tadi, udara dingin benar-benar terasa menyakitkan, ditambah dengan udara dari AC kereta yang terus menyala. Kupikir tubuhku akan beku sebentar lagi. Klakson kereta mengaum keras, para penjaga gerbang di luar berteriak serentak. Pelan-pelan, roda kereta berputar dan bergerak menuju ke stasiun selanjutnya.
Semester dua akhirnya usai dan aku bersyukur masih bisa mempertahankan nilaiku. Kau tahu, mempertahankan nilai saat kuliah lebih susah dibanding dengan mempertahankan nilai saat masih SMA. Di dunia perkuliahan, kau harus mengerti betul bagaimana perasaan sehari-hari dosenmu, karena secara tidak langsung itu bisa mempengaruhi nilaimu. Jangan kau pikir kuliah hanya menggendong tas dan berpakaian menarik.
Beberapa hari setelah kuberitahu bahwa kampusku sudah libur, ayahku segera membelikan tiket kereta untuk pulang. Awalnya, aku memutuskan untuk tidak pulang selama semester ini karena aku ingin menghabiskan waktu bekerja dan menjadi panitia untuk ospek fakultas. Tapi kau tahu, malam harinya sebelum aku berangkat ke stasiun, pikiranku berubah. Ini adalah waktu yang tepat untukku menghabiskan waktu di desa. Sepi dari hingar-bingar perkotaan, menghindar dari seluruh kegiatan melelahkan yang ada. Kurasa pilihan yang tepat adalah pulang. Aku butuh waktu untuk istirahat selama beberapa minggu. Toh, waktu liburan juga masih panjang.
Di luar sana, kabut menggumpal di antara pepohonan dan tanaman-tanaman di sekitar rumah warga. Tak ada yang bisa kulihat di jendela selain gelap malam dan sorot lampu yang samar dari pemukiman warga. Sorot itu membuat hatiku tidak sabar untuk sampai di rumah dan merebahkan diri di kasur yang selalu menemaniku dulu. Seketika aku benar-benar merasakan rindu akan rumah. Bukan keseluruhan dari rumah, melainkan ruangan kecil di pojok yang selalu membungkusku bak katak dalam tempurung. Aku selalu nyaman berdiam diri di sana dan melakukan apapun yang kuinginkan. Tak peduli dunia luar, teriakan ayah dan ibu tiriku, atau tawa adikku dan temannya yang berkunjung. Ruangan itu adalah kamarku, yang dulu juga pernah menjadi kamar ibu setelah melahirkanku. Tak heran aku benar-benar nyaman di kamar itu.
Waktu kecil, aku selalu bertukar kamar dengan adikku. Namun seminggu kemudian, kami bertukar lagi. Alasannya simpel, aku tidak betah di kamar yang baru. Pada akhirnya, kamar itu tetap menjadi tempat terakhir yang bisa kuterima. Selama merantau di kota orang, aku yakin kamar itu mungkin sudah dihuni banyak makhluk halus. Tak peduli. Mungkin mereka juga butuh tempat tinggal yang nyaman. Toh sudah banyak hewan yang berkunjung di sana, berujung mati karena ketakutan dan kehebohanku saat melihatnya. Sekarang mungkin kamar itu sudah penuh dengan kotoran dan sarang laba-laba. Aku tak keberatan jika harus membersihkannya dulu. Toh aku juga suka bersih-bersih. Bagaimanapun juga, aku hanya ingin menghabiskan banyak waktu di ruangan itu sambil melepas semua beban berat yang kupikul di punggung.
Layar ponselku tiba-tiba menyala. Sebuah pengingat dari kalender muncul di layar kunci. Sontak aku duduk tegak. Sialan. Bisa-bisanya aku lupa jika hari ini akan ada pengumuman event menulis novel yang kemarin kuikuti. Kurasa memang sudah saatnya aku harus menerima kenyataan. Apapun itu, aku harus bisa menerimanya dengan lapang dada.
Pelan-pelan mataku terpejam hingga rasa kantuk mulai menyebar ke seluruh nadi. Tubuhku melemas hingga akhirnya tertidur pulas di dalam kereta.
✦✦✦
Saat mataku kembali terbuka, sinar matahari jingga menyeruak masuk lewat lubang-lubang kecil pada jendela kamar serta celah-celah atap rumah yang kemudian membentuk bulatan-bulatan polkadot berwarna oranye. Aku tidak terlalu ingat bagaimana perjalananku dari stasiun desa ke rumah. Sepertinya energi dalam tubuhku benar-benar habis dan membutuhkan banyak waktu untuk beristirahat.
Saat aku duduk di tepi ranjang dan mulai meregangkan otot-otot di tubuh, netraku terfokus pada pintu kamar yang terbuka lebar. Jarang sekali aku membuka pintu kamar saat hendak tidur. Jika di luar rumah aku adalah orang yang tertutup, maka di dalam rumah sesungguhnya lebih tertutup lagi. Kau pernah dengar pernyataan jika seseorang melihatmu tidur, maka orang itu akan dengan cepat bisa membaca semua aib yang ada dalam dirimu? Mungkin kau jarang mendengarnya, tapi aku meyakininya. Kupikir aku harus menutupi semua yang ada di dalam diriku. Kesalahan, kesedihan, kesialan, tak ada yang boleh diketahui orang lain. Cukup diriku saja.