Perjalanan mereka ke Pantai Sasah merupakan perjalanan yang panjang dan melelahkan. Tiga Dewa dan Praja memulai perjalanan menggunakan kereta, dilanjutkan dengan bis reot dan sumpek yang membawa mereka ke sebuah desa yang merupakan tempat transit terakhir sebelum mereka menuju Sasah menggunakan kendaraan lain. Di desa itu terdapat pasar yang digunakan bagi para penduduk di Sasah untuk menjual hasil tangkapan mereka, dan juga membeli segala macam kebutuhan hidup.
“Ini kita udah sampe? Kok nggak ada pantainya?” tanya si bungsu, Wayu.
“Belum, masih ada satu setengah jam perjalanan lagi sebelum kita sampe ke sana.” jawab Praja sambil matanya melihat kesana-kemari, mencari sesuatu di tengah keramaian terminal bus. Jawabannya bahwa mereka masih harus menempuh dua jam perjalanan lagi membuat Eza dan Wayu sama-sama mengeluh.
“Kenapa kita nggak pake mobil sendiri aja, sih, om?” tanya Tama.
“Yang ada malah nyasar nanti,” jawab Praja singkat.
“Trus kita ke Sasah pakai apa? Bis lagi?”
“Nggak, Tam. Nggak ada rute bis ke Sasah. Harusnya sih kita dijemput,” Praja kemudian mengajak keponakan-keponakannya untuk mengikutinya.
Ia berjalan menyusuri terminal yang dekat dengan pasar itu, nampak mencari seseorang di tengah lautan manusia. Saat itu hari telah sore, dan pasar masih cukup ramai. Pada sore hari seperti ini, transaksi yang lebih banyak terjadi di pasar itu adalah para nelayan yang berupaya menawarkan hasil tangkapan mereka kepada para penjual pasar. Nelayan-nelayan itu berasal dari pantai Sasah. Dalam penjualan hasil tangkapan mereka, para nelayan itu tidak memiliki distributor yang membantu menjual hasil tangkapan mereka ke tempat lain dengan harga yang sudah ditetapkan. Para nelayan Sasah harus memasarkan sendiri hasil tangkapan mereka ke pasar atau para penduduk yang ada di desa tetangga. Tawar-menawar yang panjang dan seringnya alot dapat terjadi hampir setiap hari. Mereka yang membeli ikan untuk dijual lagi biasanya akan menawar harga lebih sadis ketimbang mereka yang beli untuk dimakan sendiri.
Jika seseorang hari ini setuju untuk membeli ikan dengan harga tertentu, belum tentu ia mau untuk membeli dengan harga yang sama pada hari berikutnya. Tergantung pemasukan si orang itu sendiri. Tidak jarang juga para nelayan dan pedagang memberlakukan sistem barter, ikan dengan beras misal, atau sekian kilogram udang ditukar dengan alat-alat masak baru.
“Pak, pak Praja!” sebuah suara laki-laki memanggil dari kerumunan. Praja mencari sumber suara, tidak lama kemudian ia menemukan apa yang ia cari.
Seorang pria berkumis tebal dan berpakaian rapi sedang melambaikan tangannya ke arah Praja.
“Baru sampai, pak?” tanya pria itu basa-basi.
“Iya, Lino. Baru aja. Kenalkan, ini keponakan-keponakan saya,” Praja memperkenalkan keponakannya pada pria itu. Tiga Dewa bersalaman dengannya secara bergantian sambil memberitahu nama mereka masing-masing. “Ini pak Lino, dia yang bertanggungjawab ngurusin rumah di Sasah. Sebelumnya jadi supir yang biasa antar nelayan ke pasar.”
“Hehe, iya, saya nggak jago nangkep ikan soalnya. Jadi saya hanya bisa nyupirin orang saja,” kata Lino. “Yaudah hayuk, kita ke mobil.”