“Wah, rumahnya gede banget!” Eza melihat rumah besar yang ada di depannya dengan penuh kagum. Mereka baru saja turun dari mobil, dan meskipun badan dan kaki pegal-pegal setelah total perjalanan 90 menit itu, mereka langsung lupa dengan rasa pegal itu ketika berhadapan dengan rumah peninggalan sang bajak laut. Saking terkesimanya, Eza sampai lupa kalau dia ingin buang air.
Perjalanan dari area pemukiman ke rumah ini berlalu sekitar 60 menit. Perjalanan yang rasanya lama itu tidak begitu berkesan. Tidak lama setelah keluar dari area pemukiman, mereka melihat area-area pantai sepanjang jalan, yang pesisirnya dipenuhi kapal-kapal nelayan yang berlabuh, ada juga kapal yang sedang dibuat. Beberapa nelayan nampak juga sedang mengangkut jaring-jaring yang berisikan hasil tangkapan.
Hari mulai gelap, sedangkan mereka belum juga sampai. Pemandangan pantainya bahkan sudah hilang, diganti dengan pepohonan dan ladang rumput di kiri-kanan.
“Masih jauh, Pak Lino?” tanya Tama dengan sopan.
“Sedikit lagi, dek,” jawab pak Lino.
Wayu sudah mulai gelisah, Eza ribut mau buang air, dan Tama kesal karena adik-adiknya ribut. Tapi baginya, paling tidak jalanan yang mereka tempuh tidak begitu parah, sehingga tidak begitu banyak guncangan.
Awalnya Tiga Dewa sempat merasa liburan mereka basi, tapi begitu mereka sampai di rumah bajak laut, opini mereka tentang liburan itu berubah 180 derajat ketika jalan yang mereka tempuh membuka menjadi pemandangan lautan yang luas, dan melihat rumah besar tidak jauh dari tempat mereka berada.
Rumah itu berdiri di atas tebing yang sedikit menjorok ke laut, diapit dengan pantai yang pasirnya masih bersih, meskipun airnya tidak begitu jernih. Berbeda dengan pantai-pantai yang sebelumnya mereka temui sepanjang perjalanan, tidak ada satupun nelayan atau kapal yang berada di pantai dekat rumah ini. Untuk mencapai rumah itu, mereka harus melalui jalan bebatuan yang sedikit menanjak, tapi paling tidak sekarang mereka sudah sampai di tempat.
Setelah melewati gerbang tanpa pintu, mobil yang mereka tumpangi parkir di pekarangan luas berbentuk segi empat di depan rumah besar itu.
“Nggak bisa bayangin gue, sih, punya rumah segede gini,” kata Wayu sambil geleng-geleng. “Bersih-bersihnya susah.”
Rumah besar itu memang sudah kelihatan kayak huni, seperti yang Praja bilang. Namun, beberapa dinding di luarnya masih ada yang tertutupi tanaman rambat, dan beberapa bagian dindingnya masih mengelupas dan sedikit hijau dengan lumut. Dari pekarangan tempat mereka sekarang berada, Tiga Dewa hanya dapat melihat bagian depan rumah besar itu. Jendela-jendela dengan berbagai ukuran menghiasi sebagian besar rumah tersebut.
Di sekitar pekarangan, terdapat taman yang sebagian besarnya masih berupa rerumputan, ilalang dan tanaman liar. Hanya sebagian kecilnya yang sudah tampak terurus, dan ditanami bunga-bunga, juga tanaman hias lainnya. Di taman itu terdapat jalan setapak yang menuju ke area samping rumah.
Selain itu juga terdapat pagar besi yang sudah berkarat dan tertutupi tanaman rambat yang mengelilingi area rumah.
“Om baru fokus perbaiki bagian dalamnya aja. Yang penting enak untuk tidur dulu,” kata Praja melihat tiga keponakannya sedang asyik memperhatikan hal-hal di sekitar mereka.