Keesokan paginya, matahari bahkan belum sepenuhnya naik ketika Praja sudah mengetuk pintu kamar keponakan-keponakannya. Suaranya menggema di lorong rumah yang masih setengah gelap. Butuh waktu lama sampai ada respons dari dalam. Pintu akhirnya terbuka sedikit, menampilkan Wayu dengan rambut acak-acakan dan wajah setengah sadar.
"Bangunin kakak-kakak kamu, ya. Suruh siap-siap. Pake kaus sama celana pendek aja. Om tunggu di dapur," kata Praja sambil menguap kecil.
"Mau ke mana, om?" gumam Wayu dengan suara serak.
"Liat aja nanti," jawab Praja sambil berbalik. Baru beberapa langkah, ia menoleh lagi. "Oh iya, nggak usah mandi dulu."
Wayu mendengus kecil, lalu menutup pintu. Cara membangunkan kakaknya? Tentu dengan cara paling menyebalkan yang ia tahu: menggedor-gedor pintu kamar mereka sambil berteriak, "Bangun, woy! Om Praja nyuruh siap-siap!"
Suara berisik itu membuat Eza menggerutu dari balik pintu, sementara Tama menimpali dengan bentakan kesal. Tapi setelah beberapa menit, semua akhirnya menyerah.
Tak lama kemudian, ketiganya sudah siap.
Eza mengenakan kemeja Hawaii tanpa dalaman, celana khaki, dan sandal jepit, tampilan yang seolah siap ke pantai. Tama tampil lebih sederhana dengan kaus putih, kemeja terbuka, dan celana pendek. Sedangkan Wayu, yang paling malas, cuma pakai kaus lusuh dan celana yang lebih mirip celana renang.
Mereka bertiga menuju dapur seperti yang diminta. Dari pintu, mereka melihat Praja berdiri membelakangi mereka, menatap keluar jendela ke arah laut yang berkilau samar. Udara pagi terasa lembap dan asin, membawa aroma laut yang khas.
"Ada apa, om?" tanya Tama dengan sopan.
Praja tak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sedikit sambil menggerakkan dagunya ke arah luar. "Sini deh. Liat itu."
Mereka mendekat ke jendela. Dari sana, terbentang taman belakang kecil dengan rerumputan dan tanaman yang masih basah oleh embun. Di ujung taman itu, tampak sebuah tangga kayu yang menurun curam ke arah bawah tebing.
"Itu tangga ke mana, om?" tanya Wayu sambil menguap.
"Mendingan om tunjukin langsung," jawab Praja.
Mereka keluar lewat pintu belakang. Begitu melangkah ke taman, embun di daun menetes ke kaki mereka. Di bawah lengkungan tanaman rambat, tangga kayu zig-zag itu tampak kokoh tapi agak licin oleh kelembapan pagi. Udara di sana sejuk, tapi mulai terasa hembusan angin asin dari laut di bawah.
"Turunnya hati-hati," kata Praja sambil menuruni anak tangga pertama.
Suara kayu berderit ringan di bawah pijakan mereka, berpadu dengan suara air yang tertiup angin. Dari pertengahan tangga, pemandangan laut mulai tampak jelas, hamparan pasir kecokelatan yang bersih, memantulkan cahaya oranye dari matahari yang baru muncul.
Di kejauhan, sebuah dermaga kayu memanjang ke laut, dan di ujungnya terlihat sosok perempuan yang sedang jongkok, sibuk dengan sesuatu.