“Pastelnya dua, Kak.”
Awan geragapan, lalu cepat mengangguk. Tiba-tiba dia susah untuk menemukan di mana pastel mentahnya diletakkan. Tangannya membuka baskom warna hijau blirik di atas gerobak dengan gerakan tak jelas, lalu dia menunduk mencari di dalam gerobak. Untuk sesaat dia seperti orang linglung.
“Lumpianya satu.”
“Lu gua jadi satu … eh, maksudnya,” Awan nyeplos garing, sebelum kemudian nyengir sendiri dan menampar-nampar kecil mulutnya, lalu terkekeh dalam kegugupan. Cewek itu tersenyum kecil dengan sedikit memperlihatkan gigi putih rapi yang mengintip dari senyum tak lebarnya. Senyuman yang membuat Awan semakin salah tingkah.
Cowok itu menyalakan kompor gas, lalu memasukkan dua potong pastel dan sepotong lumpia ke dalam minyak panas di wajan kecil. Sembari membolak-balik gorengannya, Awan sesekali melirik ke cewek itu. Wajahnya seperti selalu tersenyum kecil, tanpa make up, dengan jilbab warna hijau tosca membuatnya terlihat semakin cantik. Tak percuma Awan belajar membuat pastel beberapa bulan hingga menemukan komposisi isian dan rasa yang enak, yang membuat cewek terpikat, datang dan datang lagi untuk membeli. Tercatat sudah tiga kali ini dia beli, Awan ingat benar itu.
Tiba-tiba Adi dari samping datang, lalu menyorongkan kursi plastik kepada cewek itu, “Duduk, Mbak. Capek lho berdiri terus,” tawar Adi, yang disambut ucapan terima kasih dari cewek itu.
“Baru pulang atau mau kemana, Mbak?” tanya Adi sambil tetap berdiri di dekat cewek itu. Awan melirik ke arah Adi dengan sewot. Lagian ngapain sih nyamperin dan bukannya jaga dagangan es tehnya? Batin Awan melihat kembarannya itu mulai ganjen.
“Iya, Kak … mau pulang, tapi kok pengen pastel,” jawabnya. Suaranya lirih, empuk, antara malu-malu tapi tidak malu-malu juga. Adi tersenyum menatap cewek itu yang membuat Awan semakin sewot.
“Di, itu ada yang beli es teh, tuh!” seru Awan. Giliran Adi tergeragap, lalu beringsut cepat menuju ke booth-nya. Seorang anak laki-laki sudah menungguinya untuk membeli es teh.
Awan membolak-balik gorengan pastel dan lumpianya, lalu setelah dirasa sudah matang dan berwarna cokelat keemasan, ditiriskannya gorengan itu. Sambil menuggu tiris, dia merangkai kemasan dus, menyiapkan cabai dan saus untuk lumpianya. Sesekali dia melirik ke arah cewek yang duduk di depan gerobaknya. Wajah cewek itu tampak menerawang ke arah jalan, tatapan matanya sayu, membuat wajah itu semakin indah dipandang. Awan degdegan.
“Sudah, Mbak,” celetuk Awan. Cewek itu bergeming seperti tak mendengar suara Awan. Pemuda itu kembali bersuara, bahwa pesanan cewek itu sudah jadi.
“Oh, iya … maaf. Berapa, Mas?” cewek itu kaget lalu bangkit dari duduknya. Tangannya mengeluarkan dompet dari tas jinjingnya.
“Semua dua belas ribu,” jawab Awan. Tapi kalau mau gratis pun aku rela. Asalkan besok ke sini lagi, batin Awan.
Cewek itu menyerahkan lembaran uang Rp20.000 kepada Awan. Tak sengaja telunjuk Awan tersenggol jemari cewek itu. Dan itu sudah membuat Awan seperti terbang ke langit tujuh. Mendadak tubuh Awan membatu.
“Sableng!” sebuah suara diikuti tabokan di punggungnya membuat Awan tersadar. Budi, pemilik kios pulsa sebelah sudah berada di samping Awan.
“Oh, maaf … jadi kembalinya eh … dua puluh ribu dikurangi dua belas ribu jadi … kembalinya, sebentar … berapa sih. Bud, berapa … eh anu enam rib … eh maksudnya ….”
“Bodoh! Delapan ribu!” sambar Budi yang sudah di samping Awan.