Awan duduk di depan Eyang Kakungnya yang kerap dipanggilnya “Kakung” saja. Beberapa kali memandang Kakung dengan air muka gelisah. Kakung tampak santai menikmati rokok kretek hasil lintingannya sendiri sambil sesekali menjedanya dengan menyeruput kopi dari cangkir blirik kesukaannya.
Awan memainkan handphone, lalu berhenti, memandang Kakungnya, lalu kembali memainkan handphone. Ada keinginan kuat untuk berbicara sesuatu dengan Kakungnya, tetapi khawatir Kakungnya akan marah. Alhasil, Awan hanya memandang Kakungnya beberapa lama supaya Kakungnya menangkap kegelisahan Awan.
“Apa? Butuh uang lagi? Masak dagang nggak untung? Atau capek berdagang? Mau berhenti? Terus mau ngapain? Mau jadi apa? Anak orang miskin jangan macam-macam.”
Glek! Awan seperti keselek dihujani tujuh kalimat tanya langsung dari Kakungnya. Sisi lain, Awan agak lega akhirnya Kakungnya ngeh terhadap kegundahan hatinya.
“Nggak, kok. Siapa yang butuh uang, Kung? Masih ada kok dan masih pengen lanjut dagang terus,” elak Awan.
“Terus ngapain diem memandangi Kakung seperti itu?”
“Anu … uhmm, sebenarnya ada yang ingin Awan sampaikan kepada Kakung. Tapi, gimana ya Kung … mungkin nggak usah saja … tapi ….”
Belum juga Awan menyelesaikan kalimatnya, Adi datang dan langsung meletakkan pantat di samping Awan. Tanpa memahami situasi, Adi langsung main nyeletuk saja seperti orang yang tak bersalah, “Kung, ngelamar orang itu susah nggak sih? Kalau sama Kakung langsung bisa nggak?”
Eyang Kakung langsung terbatuk-batuk mendengar pertanyaan Adi yang langsung ngegas. Awan mengernyitkan dahi, apa-apaan sih ini Adi? Datang-datang langsung nyelonong dengan pertanyaan begitu, batin Awan sewot.
“Siapa yang mau ngelamar anak orang?” tanya Eyang Kakung.
“Aku, Kung … umurku sudah 20 tahun. Aku sudah bekerja. Sepertinya sudah cukup matang untuk berumah tangga,” ujar Adi dengan santai.
“Astagaaa … kamu mabuk atau apa? Duit saja nggak gablek mau nikahi anak orang. Kamu serius? Siapa pacar kamu?” Eyang Kakung mencecek rokoknya di asbak seperti tak lagi berselera merokok. Pandangan Eyang Kakung kemudian beralih dari Adi ke Awan, seperti ingin mencari jawab dari kembarannya Adi.
“Menurut UU Nomor 16 Tahun 2019 sebagai aturan baru tentang pernikahan, batas usia minimal bagi pria untuk menikah adalah 19 tahun. Nah, berarti kan secara undang-undang sudah terpenuhi. Gimana, Kung?” sambung Adi.
“Eh, kamprettt! Kalian ini pada kerasukan apa tiba-tiba hari ini aneh. Si Awan ngomong tidak jelas seperti orang mau minjem duit, sekarang kamu mendadak datang mau ngelamar anak orang. Ini ada apa sebenarnya?” tanya Eyang Kakung dengan muka senewen.
“Kamu mau ngomong sama Kakung?” Adi melirik ke Awan. Awan menggeleng cepat dan meminta Adi duluan. Awan mendadak kepo dengan apa yang ingin disampaikan Adi kepada Kakung. Omongan awal dari kakak kembarnya tadi cukup mengejutkan, karena Awan tahu benar bahwa Adi tidak mempunyai pacar.
“Begini, Kung ….”
Eyang Kakung menyorongkan wajahnya ke arah Adi, seperti tak ingin telinganya salah menangkap kalimat Adi nantinya. Baru kali ini Adi ingin berbicara dengannya secara serius. Adi melirik ke Awan, sebelum kemudian memulai kalimatnya.
“Aku kenal dengan seorang cewek. Cantik, Kung. Sepertinya juga sopan dan baik. Pertama kali melihatnya, hatiku bergetar, Kung. Seperti berkata, bahwa dialah jodoh aku. Anaknya kalem dan berhijab, kalau berbicara lirih, tertawanya juga diatur dengan sopan ….”
Awan memasang telinga baik-baik. Perasaannya mulai berkecamuk tak jelas dan menebak-nebak arah omongan kakaknya. Kok Adi tidak pernah bercerita ya kalau dia menaruh hati kepada seorang gadis? Sebagai anak kembar, sepertinya selama ini tak pernah ada sesuatu yang mereka sembunyikan satu sama lain.
“Anak mana?” tanya Eyang Kakung.
“Itulah, Kung … sejujurnya aku juga belum tahu dia anak mana, rumahnya di mana. Tapi sudah tiga kali aku bertemu dia, Kung. Dua kali mengagumi diam-diam, sekali ngobrol kecil.”
Tawa Eyang Kakung mendadak pecah. Kakek si kembar yang selama ini menjadi ayah bagi mereka itu terkekeh sampai terbatuk-batuk. Adi mengernyit seperti tak paham kenapa kakeknya bersikap seperti itu. Sementara Awan, diam-diam mulai disergap gelisah. Siapa sih gadis yang diceritakan Adi itu? Jangan-jangan, batin Awan bergolak tak enak.