TIGA DHARMA MENGEJAR CAHAYA

Ariyanto
Chapter #3

TUJUH BELAS LEBIH SEPEREMPAT TEPAT

Adi menendang kursi plastik yang biasa disediakan Awan untuk pembeli yang menunggu pesanannya dibikin. Cowok itu tampak marah terhadap Awan dan menganggap adiknya itu tidak rela bila kakaknya bahagia.

“Ye, bukan begitu juga. Budi tuh yang usul, karena Budi suka juga sama cewek itu,” elak Awan sambil melirik ke Budi.

“Hei … jangan egois. Kamu belum berhak atas dia. Kita semua belum berhak, kenapa jadi marah karena bersaing? Nggak berani? Lagian belum tentu kok dia suka kamu,” seru Budi.

“Iya, kalau dia nggak suka aku, dapat dipastikan juga nggak suka Awan karena kami kembar. Jadi kamu punya kesempatan lebih besar untuk mendapatkannya,” sela Adi.

“Terus apa masalahnya? Emang kamu orangtuanya? Bapaknya? Emang dia nggak berhak milih?” balas Budi.

Sore itu pukul 17.00 WIB, ketiga sahabat itu beradu mulut, karena ternyata Adi tak mau ada kompetisi terbuka untuk mendapatkan cewek langganan Awan. Sekitar 15 menit lagi cewek itu biasanya akan tiba untuk membeli dua pastel dan satu lumpia. Ketiga orang itu harus mulai memasang strategi untuk mendapatkannya.

Adi masih bersungut-sungut sambil memainkan handphone-nya. Dia duduk di dalam booth es teh miliknya. Sementara Awan tampak menyibukkan diri dengan merangkai dus kemasan untuk persiapan bila ada yang beli. Budi duduk di kursi plastik samping Awan sambil cengar-cengir menikmati pastel. Sekali duduk, dia bisa makan hingga lima buah. Tak heran bila melihat badannya yang berisi.

“Hei, mas bro … dipikir-pikir, kita ini lucu ya hahaha. Tahu namanya saja enggak, sudah berantem rebutan hahahah. Santai aja, bro … kalau memang jodohmu, aku dan Awan akan legawa,” seru Budi ke arah Adi. Cowok itu tetap bertahan bermain handphone tanpa menghiraukan omongan Budi. Budi tahu Adi senewen dengan idenya.

Budi melirik ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah jam 17.05 WIB. Sepuluh menit lagi cewek itu mungkin akan datang. Bagi Budi, sebenarnya tak ada niat untuk masuk di persaingan saudara kembar ini. Tapi melihat Awan yang sepertinya akan menyerah, Budi merasa tak tega. Karena itulah dia menyodorkan ide kompetisi terbuka untuk mendapatkan cewek itu. Akan jadi pusing kalau ternyata dirinya yang menang. Budi sudah melihat cewek itu sekali dan memang daya pikatnya luar biasa. Kalau pun dia berhasil memikat cewek itu, maka itu anugerah. Apalagi saat ini ibunya di Hongkong sering nanya siapa pacarnya. Bahkan mendesak Budi untuk segera menikah. Dorongan itu tak lain dan tak bukan karena ibunya ingin Budi menjadi pemuda yang lebih bertanggung jawab, tidak kelayapan, tidak menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal tidak jelas.

“Sssst … ssst … itu dia datang. Berjalan ke sini,” ujar Awan dengan suara agak setengah berbisik. Adi yang awalnya cuek, langsung menoleh dan keluar dari booth. Budi menengok ke arah kanan atau timur, melihat cewek itu berjalan dengan santai ke arah mereka.

Cara jalannya melenggang enak dilihat dan tidak genit tanpa goyangan pinggul berlebihan. Kali ini cewek itu mengenakan hijab warna abu-abu, atasan lengan panjang warna hitam dan rok polos lebar dan panjangnya semata kaki. Kedua kakinya tampak dibungkus sandal selop bersol tipis. Tangan kanannya menjinjing paperbag merah. Arah pandangannya lebih banyak ke bawah, meski sesekali menatap ke depan.

Budi yang awalnya tak berlebihan, kini benar-benar terkesima. Sejak kapan di Desa Todipan ini terdapat gadis secantik ini? Apakah dia pindahan dari daerah lain? Seumur-umur, Budi belum pernah bertemu gadis itu sebelumnya.

Pukul 17.15 WIB pas. Cewek itu sudah sekitar empat langkah lagi tiba di depan gerobak Awan. Di luar dugaan, Adi bergerak cepat meraih kursi plastik dan meletakkan di depan gerobak adiknya. Awan tak mau ketinggalan, begitu cewek itu tiba di depan gerobaknya, Awan langsung gerak cepat menyapa, “Selamat sore, Mbak. Seperti biasa … dua pastel dan satu lumpia?” tanya Awan dengan dada berdegup kencang.

Cewek itu tersenyum dan mengangguk, “Hafal ya, Kak.”

“Duduk dulu lho, capek nanti. Jalan dari mana tadi, Mbak?” Adi mulai tampil.

“Deket kok, dari situ. Sudah, saya berdiri saja … dari tadi duduk, kesemutan,” cewek itu menampik tawaran Adi. Sambil menunggu pesanananya diproses, cewek itu melempar pandang ke arah jalan. Lalu lintas sore menjelang petang itu tampak tak begitu sibuk.

“Eh, Mbak … maaf nanya. Saya kan asli orang sini ya. Hampir semua orang di desa ini saya tahu, sebaliknya juga orang tahu saya. Tapi kok saya tidak pernah lihat Mbak ya? Oya, kenalkan, saya Budi … pemilik kios pulsa di samping itu,” Budi merangsek ke depan gerobak dan memperkenalkan diri dengan sopan tanpa mengulurkan salam.

Cewek itu tersenyum ke arah Budi, “Iya, Kak. Saya orang baru, pindahan dari Sragen. Kebetulan kakek saya asli deket situ, tapi sudah meninggal. Abah saya yang barusan pensiun akhirnya memboyong semua keluarga ke rumah bekas tempat tinggal kakek saya. Saya bukan warga Desa Todipan kok, tapi perbatasan, di situ,” jawab cewek itu dengan suara tetap lirih.

Adi sudah ancang-ancang akan bertanya lebih lanjut, tapi sayang kalah cepat dari Budi. “Situ mana? Maaf kalau banyak nanya, soalnya orang-orang di sini kebanyakan saling kenal.”

Lihat selengkapnya