Pagi itu Nabila dikejutkan dengan seorang siswa bertubuh besar dengan mata tajam seperti elang, alis tebal, dan bibir berwarna pink kontras dengan kulit terangnya, ia duduk di bangku Nabila dengan seringai yang tak terbaca. Dalam hati Nabila akui siswa itu cukup menarik, lesung di pipi kirinya saat tersenyum menjadi nilai plus tersendiri baginya.
"Kamu kenapa ada di sini?" tanya Nabila dengan jari telunjuk mengarah kepadanya, perlahan Nabila mengeja dengan keras name tag yang tercetak di seragam putihnya, EZHAR AL-RASYID.
"Jangan bilang kamu tidak mengenal siswa populer sepertiku?" jawabnya dengan sikap angkuh sambil berdiri lalu mendekati Nabila.
"Emang kamu siapa?" tanya Nabila tak acuh dan semakin tak mengerti.
"Dia Ezhar ketua Rubrik majalah sekolah kita Nabila, aku kan pernah cerita padamu!" Sela Kalila dengan berbisik yang tanpa Nabila sadari tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya.
"Panggil aku Ezhar," ucapnya sambil mengulurkan tangan ke arah Nabila. Nabila masih terdiam menatapnya tajam, mana mungkin ia sampai tak mengenal siswa satu sekolah dengannya.
"Nabila Aisyah," ucap Ezhar dengan lancar sambil menarik kembali tangannya yang masih terulur karena tidak ada sambutan dari Nabila. Ezhar seolah bermonolog karena Nabila tak kunjung meresponnya.
"Kamu sungguh kejam Nabila, bagaimana bisa kamu tidak pernah mengenalku, padahal aku sudah mengenalmu dengan baik sejak kita masih di kelas 10 bahkan kita satu grup saat MOS dulu," terangnya. Nabila masih bergeming namun ekor matanya tak lepas mengikuti gerak-gerik Ezhar yang berdiri di hadapannya.
Tet ... tet ... tet ... Suara bel sekolah tanda masuk berbunyi nyaring, seketika semua siswa dan siswi bersiap masuk ke dalam kelas masing-masing karena pelajaran akan segera dimulai.
"Aku akan sering ke sini, oya semoga kamu suka dengan puisi dan bunga dariku?" ujarnya lalu mengedipkan sebelah mata dengan tangan kanan terangkat memberi hormat pada Nabila. Terdengar gelak tawa Ezhar saat melenggang ke luar dari kelas Nabila.
Nabila masih berdiri mematung saat Kalila menarik tangannya karena Bu Farah guru Fisika mereka sudah memasuki kelas. Nabila segera tersadar setelah terduduk di bangku lalu ia mencoba merogoh ke dalam laci bangkunya dan benar saja seperti biasa, sepucuk kertas berisi puisi beserta setangkai bunga mawar putih di sana.
"Dek ayo kita sholat isya berjamaah dulu," suara bariton seorang pria yang entah sejak kapan duduk di sebelah Nabila tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Suara bariton milik Fahri Abdillah yang kini resmi menjadi suaminya.
"Maaf saya lagi udzur Ustadz," jawab Nabila sambil menyeka buliran air mata yang membasahi pipinya dengan gugup. Fahri mengulas senyuman lalu membelai puncak kepala Nabila dengan lembut sebelum pergi. Tubuh Nabila seketika membeku dengan perlakuan lembut Fahri. Dengan perasaan rancu Nabila menatap punggung Fahri yang tengah berjalan ke arah kamar mandi hingga menghilang di balik pintu.
Segera Nabila membersihkan sisa make up di wajahnya lalu berganti dengan baju terusan bergambar Doraemon berwarna biru, tokoh kartun idolanya. Ia tatap wajah sendu di balik cermin dengan saksama, seketika senyuman khas Ezhar dengan lesung di pipi kirinya hadir di sana, kembali air mata Nabila berjatuhan tanpa mampu ia bendung. Bahkan belum sempat ia mengucapkan sepatah kata perpisahan untuk kekasihnya itu. Ia remas dadanya yang terasa sesak sambil memejamkan mata, berulang kali ia mengucap istighfar dalam hati. Nabila tersadar saat logikanya memperingatkan ia bukanlah Nabila yang dulu, ia sudah menjadi istri sah seseorang bernama Fahri.
Klek ... Pintu kamar mandi terbuka, sosok Fahri ke luar sambil mengibaskan rambut basahnya dengan handuk. Fahri menatap Nabila dengan tersenyum lalu mengambil handuk lain yang masih kering dari atas meja.