Pernahkah kamu tidak sengaja membuat sebuah kertas putih tersobek ketika kamu menulis di atasnya? Kalau hanya sobekan kecil, mungkin kamu akan mengabaikan dan menulis di bagian yang lain.
Tapi bagaimana jika sobekan itu begitu besar? Dari ujung ke ujung, hingga kertas itu benar-benar tak layak untuk dipakai. Sebagian orang pasti akan menggantikannya dengan yang baru. Dan kertas lusuh itu dibuang ke tempat sampah lalu dilupakan begitu saja.
Lalu menurutmu, bagaimana jika hal itu seumpamakan kehidupan manusia? Apakah semudah itu mengukir kehidupan yang baru dari awal lagi, membuang yang buruk dan menyisakan yang baik?
Sayangnya, semesta tidak bekerja seperti itu. Banyak manusia yang terpaksa untuk tetap menulis kehidupannya di atas kertas lusuh, robek, dan jelek hanya agar tetap dipandang sebagai manusia.
Manusia memang memiliki kehendak bebas untuk memilih mana yang baik dan tidak. Memilih apa yang dibutuhkan dan apa yang sekadar ingin. Tapi bagi mereka jiwa-jiwa malang, pilihan adalah hal mustahil yang tak akan pernah lagi bisa membuat mereka menjadi seperti sedia kala.
Orang-orang religius berkata mereka yang dilanda keputusasaan adalah orang yang kurang iman. Orang yang tidak bisa berpikir logis. Orang yang tidak takut masuk neraka.
Lebih parahnya, penghakiman dari mereka yang katanya benar justru menjadi sumbu api yang menyulut harapan jiwa-jiwa malang yang seharusnya dirangkul dan didengar menjadi hilang dan menyerah pada kegelapan.
Lalu bagaimana denganmu? Apa kamu termasuk salah satu dari orang-orang religius itu atau bagian dari penyintas luka yang dianggap sebagai aib dunia?
***
Sonia gadis remaja 16 tahun menjadi salah satu dari jiwa-jiwa malang yang terpaksa untuk tetap bertahan. Sudah dua tahun terakhir, dia bersembunyi di dalam kamarnya. Jendela ditutup. Pintu pun tidak pernah dibuka. Kehidupan yang berjalan hanya bisa dia lihat dari balik kaca jendela.
Selama itu pula dia tak pernah berinteraksi dengan tetangga atau pun teman-teman seumurannya. Dunianya hanya sebatas kasur, kamar, kamar mandi dalam, meja belajar, dan ponsel.
Sonia tak menyobek kertas putihnya. Dia selalu melakukan semuanya dengan hati-hati. Senyum manis dan binar mata riang adalah hal selalu dia perlihatkan pada siapa pun. Dia sangat ramah, begitu ramah sampai-sampai Mamanya memberi julukan "Sonia Gadisku Yang Manis."
Namun semuanya berubah saat penyusup liar dengan sengaja merobek kertas putih miliknya. Sonia tak pernah meminta, tapi sosok itu dengan tidak sopannya menyelinap masuk. Kertas putih Sonia yang awalnya ditoreh dengan tinta warna warni seketika tercabik, kotor, dan hancur oleh lumpur bau yang ditumpahkan penyusup.
Ironisnya, dia ditinggalkan begitu saja. Binar matanya yang ceria telah redup. Senyum dibibir digantikan dengan jeritan keras di tidur malam. Tak ada lagi Sonia yang dulu, gadis yang dipanggil "Sonia Gadisku Yang Manis".
Kini raganya layaknya karung bekas yang berisi rongsokan kaleng. Kakinya tak tahu lagi ingin melangkah ke mana, layaknya orang buta yang dipaksa menebak warna.
Sonia terombang-ambing di tengah-tengah laut kerapuhan. Duduk meringkuk di atas perahu usang dengan langit yang menangis meraung sedih.
***
"Silahkan, Kak. Mau pesan apa?" Seorang pelayan perempuan menyerahkan kertas menu pada Sonia di atas meja konter.
Sonia berdeham sejenak. Satu tangannya terangkat menyelipkan rambut di belakang telinga. Dia baru tiba di sebuah cafe kecil yang kata orang kota adalah tempat "Hidden Game". Sonia setuju jika julukan itu ditujukan karena tempatnya yang berada di gang sempit yang jauh dari hiruk pikuk kota.
Jujur saja, meskipun begitu, kafe ini menawarkan suasana sederhana yang menyambut ramah. Entah karena aroma ekspreso yang menggantung hangat atau aroma gosong croisant madu dari estalase kaca di samping konter menu, atau juga karena alunan musik jazz yang menari dengan tempo sedang.
Semuanya seperti kombinasi yang pas untuknya.
Hari ini dia baru saja membuat keputusan besar dalam hidupnya. Sonia tak ingin menjadi mumi abadi yang tak pernah lagi menginjakkan kaki di dunia luar. Setidaknya satu harapan kecil sebelum mati itu lebih baik, bukan? Dia tidak ingin menjadi arwah penasaran yang gentayangan di dunia orang hidup.
Pelayan perempuan berdehem. Cukup keras sampai membuat Sonia tersentak.
Gadis itu menelan ludah. Netranya yang sehitam arang sedikit bergetar saat menatap pelayan di depannya yang tersenyum. Percayalah itu bukan senyum ramah.
"Mau pesan apa, Kak?" tanyanya sekali lagi penuh penekanan. Bibirnya membentuk garis lurus. Keningnya terlipat dengan mata besar yang menatap kesal.
"Eh," Sonia tergagu, tangannya refleks memegang kertas menu, mencari minuman yang cocok untuk menemani paginya kali ini.
Ketukan jari di atas meja dari perempuan di depan terdengar seperti isyarat terang-terangan agar Sonia tak bertele-tele. Dan sialnya, hal itu benar-benar membuat degup jantungnya makin berpacu tak kauan. Hei! Ayolah, dia sedang gugup. Ini hari pertamanya keluar dari sangkar emasnya.