Kepala Sonia terangkat mendengar suara itu dan dalam tiupan waktu keningnya langsung mengernyit kala laki-laki-pelanggan baru itu berjalan menujunya. Wajah si gadis langsung memberengut. Kenapa orang ini percaya diri sekali memanggilnya? Dia pikir bisa seenaknya memanggil orang lain.
Laki-laki itu berhenti dua langkah dari meja Sonia, lalu kembali berdehem, sedikit canggung. "Maaf, permisi?"
"Apa?" tanya Sonia ketus. Tak ada balasan sopan seperti yang seharusnya. Matanya enggan menatap lawan bicara yang kini berdiri dengan tatapan bingung.
"Ah, ini aku yang tadi malam mengajakmu bertemu, " ucap laki-laki itu dengan senyum kikuk. "Tapi, tadi pagi-"
Sonia memalingkan wajah ke depan. " Aku tidak kenal kamu!"
Laki-laki yang masih berdiri depan meja langsung melongo. Wajahnya seakan menunjukkan bahwa Sonia yang kini salah paham. Laki-laki masih membisu, sehingga gadis itu mengambil kesempatan untuk tetap meneruskan.
"Aku tidak pernah membuat janji dengan orang seperti kamu. Kalaupun ada, itu pasti orang yang tampilannya err ..." Sonia berhenti sejenak memperhatikan penampilan laki-laki di depannya dari atas ke bawah, bibir atasnya sedikit tertarik ke samping. "Pasti penampilannya sedikit eww ... nyeleneh dan lagaknya tidak punya semangat hidup."
"Maksud kamu?" Alis laki-laki itu terangkat seakan tersinggung dengan penuturan seenaknya dari Sonia.
"Ya, kamu!" Sonia memutar bola matanya malas, sebelum menatap laki-laki itu dengan tajam. "Orang aneh yang tiba-tiba bilang mau bertemu. Kalau pun ada, sudah pasti itu bukan kamu. Kamu siapa? Hanya laki-laki tidak jelas yang sok tebar pesona."
"Tebar pesona? Atas hal apa kamu narik kesimpulan kayak gitu?!"
"Atas kesimpulan apa? Atas apa yang kamu lakukan tadi! Tiba-tiba mengatakan hal aneh."
"Lho?! Bagian mananya menurutmu aku seperti itu?"
Sonia berdecih. "Sekarang tidak, mungkin nanti. Kaummu kan memang begitu! Sok dekat, tapi ada maksud di baliknya."
Wajah laki-laki itu benar-benar merah, bercampur marah dan malu. Tangannya mengepal erat saat melihat gadis di depannya yang terlihat enggan bersahabat. Dan Sonia tidak sadar jika dirinya sudah menyalakan sumbu amarah lawan bicaranya.
"Sonia." Suaranya dalam, berat, dan sedikit getir. "Aku bukan laki-laki seperti yang ada di pikiranmu."
Kali ini tubuh Sonia yang membeku. Darimana laki-laki ini tahu namanya? Laki-laki itu menghiraukan reaksinya. Dia melangkah makin dekat. Tubuhnya yang tinggi seperti perisai besar yang menutupi pandangan Sonia ke depan.
"Tidak semua orang sakit harus terlihat sakit. Dan tidak semua orang sehat menandakan kalau dia baik-baik saja." Laki-laki itu menghembuskan napas berat. Manik coklatnya menatap Sonia tepat di mata. Anehnya Sonia tak merasa terintimidasi. Seolah mata itu juga mengerti luka yang dideritanya.
"Dan juga ... aku ini Mae," katanya lirih, tangannya yang tadi mengepal, sedikit melunak di sisi tubuhnya. "Yang tadi malam mengajakmu bertemu."
Kata-kata itu cukup membuat Sonia tercengang. Dia yang membenci laki-laki kini bertemu dengan sosok anonim yang juga adalah laki-laki. Oh Sial, semesta memang punya cara tak terduga untuk mempertemukan dua jiwa.
***