Tiga Menara

Maulani Salim
Chapter #2

2. Verse : Tempat bernama rumah

Langkah kakinya terhenti, pandangan matanya terarah ke penjuru sekolah yang sepi, langit yang berwarna jingga seiring waktu memudar menjadi warna ungu tua, hembusan angin malam yang dingin mengenai kulitnya.

Raden menghela nafas kemudian mendorong pintu rapuh itu, saklar lampu ia tekan sehingga ruangan gelap itu kini diterangi cahaya lampu yang temaram.

Kelas ini lagi. Entah sejak kapan kelas ini berubah menjadi tempat kesukaannya. Barangkali ketika ia menikmati mi instan bersama kesunyian atau mungkin di saat ia menemukan seorang siswa yang juga menyukai tempat ini dan kemudian hari ia kenal sebagai seorang teman baru; Ari.

Mengenai cowok itu, Raden dibuat terkejut ketika di suasana genting tempo lalu, Ari malah menyodorkan selembar pengumuman berisi lomba band. Dengan mata yang sorotnya begitu berani, ia menawarkan Raden dan Alvin untuk ikut serta menyelamatkan nama baik sekolah.

Aneh dan asing rasanya tapi Raden merasa ia seolah diberikan sebuah suntikan semangat untuk mimpinya. Hari esok baginya menjadi hari yang baik, ia semakin semangat mengerjakan komposisi lagu untuk mengikuti lomba tersebut.

Malam-malam menjadi semakin menyenangkan untuk menulis, mencari lirik yang terasa serasi juga dengan instrumen yang ia olah sedemikian rupa, semakin seru ketika ia berada di kelas ini sendirian.

Bagi Raden, menjadi pemusik adalah tentang kebahagiaan, ia selalu bahagia ketika menemukan rilisan lagu yang ia suka, menemukan lirik yang berpengaruh. Rasanya seperti jatuh cinta.

Kesibukannya untuk menemukan lagu untuk lomba nanti, membuat ia sampai lupa, rumahnya bukan lagi tujuan untuk dirinya istirahat. Ia baru teringat ketika ponselnya berdering dan layarnya menampilkan nama sang ibu.

"Dimana?"

Raden mengigit bibir, menjauhkan ponsel dari mulutnya sementara hanya untuk menarik nafas yang panjang. Satu kebohongan nggak masalah, kan? "Warmindo, Bu. Entar, Raden nginap di rumah Raja aja, ya?"

"Padahal Bapak nungguin buat makan malam bersama, Nak."

"Bu, Raden lagi banyak tugas? Nanti aja,"

"Bapak nyariin kamu, mau nanya kamu lebih mau daftar jurusan management apa ikut jadi dokter kayak bapak? Pulang, ya? Kita bahas baik-baik."

"Selamat malam, Bu."

Rasanya kurang ajar sekali, tanpa menjawab dan langsung memutuskan secara sepihak, tapi sungguh Raden tidak tahan dengan cara kedua orang tuanya memaksakan diri untuk menentukan jurusan untuknya.

Apa mereka tidak lelah? Selalu membahas hal yang sama sejak ia menginjak kelas akhir, mereka berkata jika Raden tidak akan berhasil jika tidak mengikuti arahan mereka, karena di kehidupan sebelumnya banyak orang-orang yang mengalami kegagalan jika tidak mendengar arahan orang tua.

Raden paham betul semua itu untuk kebaikannya, tapi Raden hidup di generasi baru, sekarang beda dengan jaman mereka dahulu.

Bisakah orangtuanya tida berpikir picik hanya karena pikiran mereka terpaku pada ingatan masa lalu? Bisakah mereka percaya padanya untuk sesekali? Apapun terjadi di masa depan, Raden bakal bertanggung jawab atas dirinya sendiri, jadi ia ingin orangtuanya membiarkan dirinya menjadi diri sendiri.

Dan jelas, musik adalah bagian dari jiwa Raden.

Namun, justru dunia musik adalah tentangan besar dari orangtuanya.

Suara decitan pintu membuat Raden bergerak waspada, lantas bahunya melemas ketika yang membuka pintu ternyata Ari, cowok itu tidak mengatakan apa-apa ketika melihatnya, hanya berjalan dan berbaring di atas meja.

"Lo kenapa bisa masuk ke sekolah malam-malam gini?" tanya Raden.

"Lo sendiri?"

Ditanya balik membuat Raden terkekeh, ia mengerti jika keamanan sekolah saat malam begitu mudah diterobos, tidak heran jika mereka berdua masuk dengan mudah.

"Ganti pertanyaan. Kenapa di sekolah bukan di rumah? Is everything okay at home?"

"I wish i could find a place called home." jawab Ari santai sambil memejamkan mata.

"Geez, sedih banget. Ayo, daripada galau mending bantu gue nyariin nama buat band kita."

Sontak, Ari membuka mata lalu terduduk, ia menatap Raden dengan tidak percaya. "O-oh sepertinya ada kesalahpahaman, Men. Gue nggak ikutan lomba itu, lo aja sama Bang Alvin. Gue cukup bantu promosiin kalian."

"Emang kenapa, sih? Lo nggak mau ikut bermimpi untuk sekolah kita agak baikan sedikit?"

"Itu mimpi apaan?"

"Ya... ada banyak, kayak mimpi guru-guru biar anak didik mereka bisa lulus--"

"Bang, ngebuat sekolah ini sedikit baik itu mimpi yang ketinggian, kepala sekolah dan jajarannya aja udah hope less, mereka realistis aja kalo target kelulusan di sekolah setidaknya ada 85 persen, thats why mereka punya peretas buat perbaikin kertas jawaban murid ujian."

"I dont mind them, Ri." Melihat raut tak mengerti dari Ari, ia pun melanjutkan. "Gue lebih mikirin teman-teman kita, mereka setidaknya harus punya kenangan baik di sekolah ini sebelum lulus, menurut lo kenapa mereka tetap keukeh sekolah padahal sekolah ini buruk banget dan mereka juga tetep nakal? Antara sadar atau nggak, mereka butuh sekolah biar ingat kalo mereka masih remaja yang punya hak untuk belajar.

Mereka masih mau tahu gimana rasanya pulang sekolah, jajan, main sama teman, pakai seragam dan tetap bawa buku. Kenakalan mereka emang nggak dibenarkan, tapi mereka bisa dibenarin. Mungkin lewat lagu-lagu kita, setidaknya terbantu."

Ari diam membatu. Apa yang dikatakan oleh Raden banyak membuatnya tersadar jika bukan hanya dirinya yang muak dengan sekolah, teman-temannya selama ini memberontak juga karena guru-guru di sekolah ini tidak tegas, mereka kaku dalam mengajar, hanya mengikuti formalitas.

"Sorry, tapi gue tetap nggak bisa ikut, gue takut punya mimpi yang tinggi."

Jeda lama yang diberikan Raden untuk membuat Ari berubah pikiran tetap tak berpengaruh, maka ini adalah cara terakhir baginya, yaitu mendesak dengan pertanyaan yang agak tajam.

"Ri, apa yang lo takutin? Omongan orang-orang yang bilang mimpi lo ketinggian? Lo takut jatuh? Bukannya jatuh dari tempat terendah sekali pun bakalan tetep sakit? Mimpi aja takut gimana mau dapetin? Masih ragu sama keajaiban doa? Bukannya kita punya Tuhan yang nggak bakal ninggalin kita?"

"Lagian, kalo cuman gue dan Alvin, itu namanya duo, bukan band."

Raden tidak bisa pungkiri ia begitu gugup menunggu jawaban dari anak laki-laki itu, masalahnya, ia tahu ada potensi tersembunyi dari cowok itu,

Kemarin, ketika ia iseng mengambul buku pelajaran milik Ari dari tas cowok itu, kebetulan sang pemilik tengah menuju kantin jadi secara diam Raden membaca beberapa isinya.

Lihat selengkapnya