Tiga Menara

Maulani Salim
Chapter #3

3.Pre-chorus : Bangunan tinggi yang sendiri itu,

Ada banyak cara dari semesta untuk menunjukkan seseorang tentang sesuatu yang bisa jadi pelajaran, seperti saat Alvin termangu menatap jalanan dan gedung besar dari dalam bus Transjakarta, ia menatap bangunan-bangunan tinggi menjulang, seakan-akan berlomba siapa yang paling cantik kala mendekatkan diri ke langit.

Sama halnya melihat manusia berlomba mencari validasi yang tak pernah habis meski dimakan umur.

Alvin menghela nafas dan bersandar, menikmati perasaan ketika di bus.

Cowok itu selalu suka berada di bus. Dan di saat yang sama ketika ia di sini, Alvin pasti menyalurkan perasaan sedihnya ketika di bus, dan penenangnya hanya menaiki kendaraan ini

Entahlah, yang dirinya rasakan itu seperti semacam banyak orang di dalam satu ruang, berkumpul dengan individu berbeda, hadir membawa cerita berbeda juga kekhawatiran beda, but we live together for some minutes in bus.

Di bus, Alvin selalu ingat kembali kalau,

Semua manusia punya kekurangan,

Semua punya alasan tersakiti,

Semua ingin ada yang tolong.

Juga, semua punya kesamaan, we have our own stories, but in the end we share the same thingliving and going forward.

Cuman di bus, Alvin bisa merasakan dirinya sebenarnya, dimana ia bisa bersedih tanpa diketahui oleh keluarganya.

Lantas ketika bus berhenti di halte dekat sekolahnya, ia menghela nafas, selalu merapalkan hal yang sama ketika menuju sekolah laknat itu.

Semoga selalu ada hal baik meski sedikit di tiap esok yang menyambutnya untuk ke sekolah.

Bahu Alvin tiba-tiba ditubruk oleh seorang cewek yang mempunyai seragam yang sama dengan sekolahnya, sialnya, ia tidak sempet liat bentuk wajah cewek itu kayak gimana karena banyak orang silih berganti melewati dirinya ketika ia berada di trotoar yang padat.

Ketika itu sebuah foto di dalam bingkai kecil terjatuh, secara refleks Alvin mengambil, dan memperhatikan sebuah foto berlatarkan sebuah pantai lalu terdapat wajah cewek yang ia kenal betul, pemilik ini merupakan teman sekelasnya,

Alvin tersenyum miring, mendapat sebuah ide.

***

"Bagus lo udah datang, gue baru aja selesai bikin demo untuk lagu perdana kita,"

Baru membuka pintu berkayu yang sudah hampir rubuh, Ari disambut oleh Raden dan Alvin. Kini kelas kosong ini mereka ubah menjadi ruang musik, atas persetujuan kepala sekolah yang mendengar jika mereka ingin mengikuti lomba.

Tentu saja pria berumur empat puluh itu menyetujui ide dari murid mereka, sudah berapa lama ia tidak menemui siswa sekolahnya mengajukan diri untuk melakukan hal positif seperti itu?

"Gue kira lo bilang mau bentuk band itu cuman candaan, Bang," kata Ari dengan wajah meremehkan.

"Gue biasanya nggak suka becanda sama hal seserius itu." jawabnya enteng, lalu ia menggeser laptop ketika Ari duduk di sampingnya dengan wajah penasaran.

Alvin yang sedari tadi tertidur di atas meja yang disatukan kini mendekat ke arah Ari dan Raden, ikut memperhatikan reaksi Ari.

Tangan pemuda pirang itu menggeser layar kursor lalu menekan simbol segitiga. Seketika ruang kecil itu dipenuhi oleh nada breakbeat dipadu dengan techno serta suara jentikan jari dan pukulan drum, baru diputar Ari bisa bilang jika instrument ini adalah musik hip-hop.

Begitu demo itu terhenti setelah tiga menit lebih terputar, Ari langsung menatap pemuda pirang yang malah nyengir menatapnya.

"Aneh banget, gue nggak menemukan alat musik gitar. Bang Raden ini bukan lagu utama kita, kan?"

"Sayangnya, iya."

Kini Alvin ikut mengambil suara. "Lo kayak nggak tahu gilanya Bang Raden kalo udah bermain sama musik."

"Wow, komentar yang keren banget. Saudara Alvin." Sahut Raden dengan canda. Lantas pemuda itu terkekeh ketika masih mendapati wajah bingung Ari.

"Gue rasa kita bisa bikin terobosan baru, lagu ini perdana untuk trio kita dan ini lagu yang bener-bener gue suka dan gue berterima kasih sama lirik buatan lo dan Alvin, sayang banget kalo nggak pake musik yang biasa, jadi gue bikin seperti ini, ada nada playful untuk lirik sindiran lo dan kesan tegasnya ketika ntar si Alvin lakuin rap." Jelas Raden dengan senyum yang tak pernah luntur selama memberitahu kedua temannya itu.

Alvin kini berpendapat, "Gue setuju aja sih, kalo penampilan kita yang pertama, kita bertiga tampil dengan megang microphone. Selanjutnya, di lagu lain gue bisa berada di balik piano dan lo bisa duduk bersama gitar."

Tidak ada yang bisa Ari lakukan selain setuju dengan kedua cowok yang lebih tua darinya ini, lagipula Ari hanya berkontribusi dalam lirik chorus, selebihnya adalah urusan Raden dan Alvin.

Setelah itu hanya ada sepi mengisi, Alvin memilih menyalakan sebatang rokok dan memandang ke arah bingkai foto yang tadi ia temukan secara lamat, kemudian Raden tiba-tiba berkata,

"Kalo dipikir-pikir, berani juga ya gue bermimpi dan ngajak kalian."

"Emang kenapa, Bang?"

"Sekolah di Jaya Pelita itu untuk siswa-siswa yang udah nggak punya mimpi. Seandainya orang luar tahu, betapa malunya bangsaku memiliki generasi penerus yang bangsat."

Ucapan Raden membuat Alvin dan Ari tertawa ringan. Bagaimana tidak, fakta jika murid-murid 'minum' saat jam istirahat, ruang obrolan grup angkatan dipenuhi oleh video dan foto terlarang siswi dan siswa, transaksi narkoba yang melibatkan guru BK menghantarkan mereka pada kenyataan jika mereka sekolah di tempat yang salah.

Namun ketika Ari bertemu dengan orang-orang seperti, Sarah, Raden dan Alvin dan membahas sebuah mimpi yang terasa tabu. Ia tahu satu hal, ia sekolah bukan di tempat yang salah, tapi beberapa orang tersebut yang salah.

"Ngomong-ngomong, nama untuk band kita belum siap, tapi lagu udah. Ayo cari nama yang bagus!" seru Raden.

Mereka saling diam untuk beberapa saat, mencari nama yang semoga bisa menjadi berarti dan menjadi harapan.

Lihat selengkapnya