"Kakak! Kejar Inari!" teriak adik Alata dengan tawanya. Alata saat itu masih berumur 9 tahun sedangkan adiknya berumur 6 tahun. Kala itu mereka sedang mencari buah-buahan di hutan dengan kakak sulungnya, Ketsu. Namun, karena ada sesuatu yang tertinggal di rumahnya, Ketsu berpesan kepada Alata untuk menjaga Inari selagi Ketsu pergi untuk mengambilnya.
Kejadian tak terduga datang tiba-tiba. Mobil truk merangsek semak-semak hutan dari jalan raya di atas mereka. Mobil truk itu melaju dengan kecepatan penuh karena rem blong. Alata yang menyadari itu seketika berlari secepat yang ia bisa untuk mengejar adiknya, Inari. Namun, tanpa disangka supir truk itu menyelamatkan diri dengan meloncat ke semak-semak sebelum truk miliknya menabrak pohon.
Takdir berkata lain. Inari yang tak tahu jika ada truk merangsek semak terus berlari mendekat. Sedetik kemudian Inari tertabrak dan terlempar sejauh 10 meter. Darah mengalir deras dari kepala Inari. Truk itu ringsek menabrak pohon besar di depannya. Alata yang melihat kejadian itu berteriak histeris. langkahnya menjadi tak tentu arah. Ia menangis sesegukan di samping tubuh Inari yang sudah berlumur darah. Ia meminta pertolongan kepada siapapun namun tak ada jawaban.
"Inari! Bangunlah! Tolong.!! Siapapun tolong!! Ada kecelakaan disini! Tolong!! Kakak!! Inari!!" teriaknya sambil berlari kesana kemari meminta pertolongan. Hanya isak tangisnya yang terdengar. Alata terduduk lemas tidak tahu harus berbuat apa. Tak tahu harus bagaimana. Tak lama Ketsu datang dengan berlari. Ia menarik Alata untuk menjauh dari Inari.
"Ada apa ini? Apa yang telah terjadi? Inari! Bangun! Alata, lakukan sesuatu!! Toloong!! Inari!!" teriak Ketsu lantang-lantang. Alata hanya bisa menangis di belakang Ketsu dengan mencengkeram baju belakang Ketsu.
###
Alata terus merutuki dirinya di tepi atap gedung rumah sakit. Kilasan memori masa kecilnya terulang begitu saja. Ia tak sadar ada seekor rubah putih besar mengawasinya dari balik tembok gedung. Sesaat kemudian terdengar langkah kaki yang mendekat kepadanya. Tampak dari belakang seorang pria bertubuh tinggi dengan mengenakan jaket berwarna hitam. Mendengar langkah kaki tersebut, Alata menoleh. Ia termangu melihat seseorang yang menghampirinya. Wajah pria itu tak terlihat jelas karena siluet lampu atap gedung rumah sakit. Ia semakin mendekat kepada Alata.
“Kalau begitu pergilah sekarang!” bentak pria tinggi itu kepada Alata lantas mendorongnya dari tempat ia duduk. Tak sempat sudah ia meraih tangan pria tinggi yang mendorongnya turun. Alata terkejut dan berteriak.
“Tunggu!!” teriaknya sambil menutup mata. Jantungnya bedegup kencang.
Beberapa detik kemudian ia tak merasa tubuhnya terjatuh. Kakinya masih menapak atap gedung dengan tubuh condong ke belakang. Pria itu menggenggam lengan Alata erat dengan satu tangannya. Ia tak menjatuhkan Alata. Sorot matanya penuh amarah.
“Apa yang terjadi dengan adikku, Alata!” bentaknya dengan menarik kembali Alata mendekat ke pembatas atap gedung rumah sakit. Pria itu menarik Alata lebih dekat yang mengharuskan Alata melompati pagar pembatas. Alata mendekat kepada pria tinggi besar itu. Wajahnya menunuduk merasa bersalah kepadanya.
“Jawab aku Alata! Mengapa diam saja?” cercahnya. Namun Alata tetap diam. Ia tak berani menatap mata marah pria di depannya.
“Jawab aku! Apa lagi yang sudah kau lakukan kepada Akari!” bentaknya sekali lagi dengan mencengkeram kerah baju Alata. Ia terlihat sangat marah kepada Alata. Alata hanya menunduk merasa bersalah. Air matanya kembali terjatuh satu persatu. Ia menangis dalam diam. Hatinya kembali terkoyak. Luka masa lalunya kembali terbuka.
“Aku minta maaf. Benar-benar minta maaf,” ucapnya dengan suara bergetar. Alata mencoba menahan tangis di depan pria itu.
“Selalu permintaan maaf yang kau ucapkan! Apakah permintaan maafmu bisa mengembalikan Inari? Bisa membangunkan Akari yang terbaring disana?” caci pria tinggi itu dengan mencengkeram kerah baju Alata. Alata membalas menggenggam tangan pria yang mencengkeram kerah bajunya. Menggenggamnya erat.