Tiga Raga

A. R. Pratiwi
Chapter #13

KAKAK

Kedua orang tua Akari terduduk dengan tatapan kosong di depan ruang ICU tempat Akari dirawat. Mereka tak kuasa melihat Akari yang tak sadarkan diri. Pikiran mereka melayang entah kemana. Akira yang melihat kakaknya tertidur dengan penuh selang pun membuat benaknya dipenuhi tanda tanya.

"Ma, mengapa kakak tidur dengan memakai selang? Apa hidung kakak tidak sakit dimasuki selang putih itu?" tanya Akira yang masih berumur 5 tahun tersebut. Mamanya menoleh dan tersenyum getir.

"Mama juga tidak tahu, tapi yang jelas itu akan membantu kakakmu cepat bangun," jawab mamanya yang entah itu jawaban yang benar atau salah. Jawaban yang menenangkan atau malah menakutkan

"Lalu kenapa kakak tidur disini? Tidak di kamar kak Akari saja?" tanya Akira yang pertanyaannya semakin merembet.

"Tidurnya kakak hari ini membutuhkan bantuan dokter sayang, jadi kak Akari tidurnya disini bukan di kamarnya. Doakan saja kak Akari bangun dan tidak membutuhkan bantuan dokter lagi, biar kakak bisa tidur di kamarnya sendiri." Mama Akari menahan tangis menjawab pertanyaan putra bungsunya. 

Tak berapa lama dari kejauhan tampak Alata menghampiri ruang rawat Akari bersama Kakaknya, Ketsu. Mama dan papanya sontak melihat ke arah mereka bersamaan. Mata Alata masih sembab karena menangis sebelumnya. Tatapan kedua orang tua Akari kini tertuju kepada Ketsu. Pria yang menolong kedua orangtua Akari saat keadaan genting.

"Pa, nak Ketsu disini. Apa yang harus kita lakukan? Bagaimana menjelaskan keadaan Akari sekarang? Atau karena nak Ketsu sudah tahu kejadian ini dia datang untuk mengambil Akari? Bagaimana ini? Apakah dia marah kepada kita?" bisik mama Akari kepada suaminya. Digenggamnya erat tangan papa Akari karena takut Ketsu akan mengambil adiknya kembali.

"Tenang dulu, jangan berpikir aneh-aneh. Mungkin benar jika nak Ketsu marah, kita kelolosan tentang kecelakaan ini. Namun, Akari masih terbaring di ruang ICU. Tidak mungkin nak Ketsu akan membawanya pergi," jawab suaminya turut berbisik.

"Tapi lihatlah. Mata Alata begitu sembab. Pasti menangis karena kakaknya datang tiba-tiba dan ingin mengambil kembali Akari. Dulu dia pernah bilang akan mengambil adiknya jika kejadian masa lalu terulang kembali bukan?” jelas mama Akari dengan suara tercekat.

“Selamat malam,” sapa Ketsu yang membuat kedua orang tua Akari terdiam mematung. Alata melihat mama, papa dan kakaknya bergantian. Alata berdeham.

“Eh iya, Selamat malam.” jawab papa Akari mencoba tenang. Alata mulai duduk di samping papa dan mamanya. Mama Akari terlihat gugup berhadapan dengan Ketsu. Entah apa yang membuat suasana di depan ruang ICU menjadi canggung dan tegang.

“Pa, kak Ketsu kesini untuk…” Belum Selesai Alata berbicara sudah di sela oleh mamanya. Akira yang sebelumnya berada di pangkuan mamanya dipindahkan ke pangkuan papanya. Dipeganggnya tangan Ketsu di depan Alata, Akira dan papanya.

“Tolong jangan ambil Akari sekarang. Maafkan kami. Kami kelolosan tentang kecelakaan ini. Biarkan kami menjaga Akari sekali lagi. Biarkan kami menepati janji. Kami akan mengembalikannya saat umur delapan belas tahun nanti. Kami mohon,” ucapnya.

“Tenanglah, tenang. Jangan menyerang nak Ketsu seperti itu. Kita dengarkan dulu alasan nak Ketsu kesini untuk apa. Mungkin saja untuk melihat Akari. Adiknya sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana mungkin dia tidak menjenguknya.” Papa Akari merangkul pundak istrinya kemudian mengajaknya kembali duduk.

“Kakak akan membawa Akari saat dia berumur delapan belas tahun? Lalu bagaimana dengan Alata? Kakak akan memisahkanku dengan Akari kemudian meninggalkanku sendirian? Mengapa kakak bisa setega itu?” tanya dan protes Alata. Ia berdiri di depan kakaknya meminta jawaban. Ketsu hanya menatap dingin.

“Alata, tenang dulu. Kembalilah ke tempat dudukmu. Nak Ketsu, bisakah kita bicara di taman rumah sakit saja? Kita bicara pelan-pelan tentang hal ini,” lerai papa Akari sembari berdiri dengan menggendong Akira. Ketsu mengangguk.

“Alata juga ikut. Jangan coba-coba menyembunyikan sesuatu dariku,” ucapnya.

Tanpa kalimat lebih lagi mereka berjalan menuju kursi meja di taman rumah sakit. Ketsu dan papa Akari duduk saling berhadapan dengan Akira yang berada di pangkuan papanya. Sedangkan Alata dan mamanya duduk di samping kanan dan kiri Ketsu. Alata dan mama Akari segera mengubah posisi duduk menghadap Ketsu. Tampak sekali tatapan menyelidik pada wajah Alata juga tatapan khawatir pada wajah mama Akari. Papa Akari tampak sedang merangkai kata sebelum dilontarkan. Belum sempat papa Akari memulai percakapan, Alata menyela dengan cepat.

“Baiklah, sekarang jawab pertanyaan Alata. Apa betul seperti itu? Nasib Alata bagaimana setelah ini? Ditinggalkan begitu saja? Jahat sekali. Baiklah, Alata minta maaf karena lengah hari ini. Atau haruskah aku bersujud untuk kakak sekarang agar kakak memaafkanku? Apa yang harus Alata lakukan kak?” tanya Alata tanpa jeda.

“Alata! Jangan menyerang kakakmu seperti itu. Bicara baik-baik, jangan sampai suaramu meninggi dan emosimu meluap. Kamu sedang berada di area rumah sakit.” Lagi-lagi papa Alata mencoba menjadi penengah diantara mereka bertiga.

“Kamu kalau tidak tahu apa-apa sebaiknya diam Alata.” jawab Ketsu dingin.

“Aku sejak dulu selalu diam dengan keputusan kakak. Sekarang umurku sudah sembilan belas tahun. Bagaimana bisa akan terus diam. Aku juga perlu mengutarakan pendapatku. Apa aku salah? Kakak membuangku dengan Akari sepuluh tahun lalu dan sekarang kakak akan mengambil Akari kembali dalam hitungan 5 atau 6 tahun lagi? Kakak sedang ingin mempermainkan kami? Apa sebenarnya yang kakak inginkan dari semua hal ini?” tanya Alata menatap tajam ke manik mata kakaknya.

“Alata, pelankan suaramu! Papa tidak pernah mengajarimu mengeraskan suara kepada orang lain. Bahkan yang lebih tua darimu,” sela papa Akari menatap Alata tajam. Alata membalas tatapan papanya kemudian memalingkan wajahnya kesal.

Lihat selengkapnya