“Selamat pagi Akari,” sapa Maiko. Maiko dan Mari terlihat memasuki pintu gerbang sekolahnya. Akari menoleh dan tersenyum. Maiko dan Mari kini sudah berada di sampingnya memakai peralatan yang digunakan untuk pengenalan lingkungan sekolah. Yakni kartu nama dan topi kerucut.
“Selamat pagi juga. Eh kalian juga dapat tema warna biru ya? Berarti kita satu kelas,” ucap Akari girang.
"Oh pantas saja tadi aku juga melihat ada yang memakai warna merah dan memakai warna hijau. Ada juga yang memakai warna kuning," ucap Maiko. Mereka terkejut karena baru mengerti maksud dari warna-warna yang berbeda milik teman-teman yang lain saat di tempat parkir.
“Wah pasti bakal seru. Semoga anak laki-laki kemarin satu kelas dengan kita.” doa Mari. Akari dan Maiko tertawa melihat Mari yang ingin sekali berkenalan dengan Satoru. Maiko dan Mari pun mengedarkan pandangan mencari sosok Satoru.
“Siapa kemarin namanya? Aku lupa,” tanya Mari yang heboh ingin menemukan Satoru. Maiko menoleh kepada saudara kembarnya kemudian berpikir sejenak mengingat-ingat nama anak laki-laki yang bertabrakan dengan Akari kemarin. Akari tersenyum tipis.
“Satoru,” jawab Akari pelan. Maiko dan mari saling melotot satu sama lain karena mengingat nama anak laki-laki kemarin.
“Ah iya, Satoru! Ayo kita cari Satoru di sekitar anak laki-laki,” jawab Maiko antusias.
“Semoga biru, semoga biru, semoga biru,” gumam Mari sambil mengedarkan pandangan mencari sosok laki-laki yang memikat hatinya kemarin. Melihat tempat duduk di belakangnya, Akari pun duduk. Membiarkan kedua temannya mencari sosok anak laki-laki bernama Satoru.
“Dia memakai biru juga,” ucap Akari pelan. Ia sudah melihat Satoru tadi pagi di area tempat parkir. Namun, Maiko dan Mari tidak mendengarkan. Mereka terlalu sibuk mencari hingga menutup telinganya rapat-rapat.
“Hey, lihat! lihat! Itu Satoru! Dia memakai warna biru juga!” teriak Mari dengan menggoyang-goyangkan tubuh Mari kemudian menarik lengan Akari untuk berdiri. Akari terkejut karena Mari menariknya lengannya begitu kasar. Suara melengkingnya sangat keras. Tapi masih kalah dengan suara anak lain yang ramai di tengah lapangan.
“Aduh, jangan berteriak! Iya aku melihatnya. Sakit terlingaku,” protes Maiko dengan mengelus telinganya.
“Akari, Akari, sapa dia, sapa dia. Cepat! Aku mohon,” pinta Mari masih menggoyang lengan Akari. Akari tidak menyapanya. Ia hanya tertawa melihat kelakuan teman barunya.
“Aduh, nanti juga berkumpul jadi satu. Toh kita satu tema warna biru,” jawab Akari melepas tangan Mari dari lengannya. Merah sudah lengan Akari dibuatnya.
“Eh iya juga ya. Kenapa tidak berpikir sampai ke sana? Memalukan sekali aku,” gumam Mari yang langsung ditertawakan oleh saudara kembarnya. Ia tersipu malu.
Waktu pengenalan lingkungan sekolah sudah tiba. Mereka diperintahkan untuk berkumpul dengan tema warna masing masing. Ada tujuh kelas di tingkatan pertama. Yakni merah, orange, kuning, hijau, biru, krem, dan ungu. Akari mendapatkan biru.
“Adik-adik semuanya. Sekarang berkumpul dengan teman satu kelas kalian masing-masing. Tiap kelas memiliki tema warna yang berbeda beda. Jadi, jika kalian memakai warna merah, berkumpul dengan teman yang memakai warna merah. jika kalian memakai warna orange, berkumpul dengan teman yang memakai warna orange. Jika memakai tema warna Kuning berkumpul dengan teman yang memakai warna kuning. Begitu seterusnya. Kakak beri waktu sepuluh menit untuk mencari teman sekelas kalian. Waktu dimulai dari sekarang!” teriak kakak senior laki-laki mereka. Semua murid baru mulai berhamburan mencari teman satu kelas mereka masing-masing termasuk Akari, Maiko dan Mari.
“Jangan saling dorong, lapangan ini luas. Jika sudah lengkap salah satu siswa atau siswi perwakilan dari kelas masing-masing bisa angkat tangan. Satu kelas terdiri dari tiga puluh hingga tiga puluh dua orang! Tim merah, tim orange, tim kuning, tim hijau dan tim biru ada tiga puluh dua orang. Sedangkan tim krem dan tim ungu hanya tiga puluh orang. Hitung terlebih dahulu sebelum mengangkat tangan kalian!” teriak kakak senior perempuan yang lain. Akari sudah berkumpul dengan teman satu kelasnya. Salah satu dari mereka mulai menghitung. Tiga puluh satu orang. Tinggal satu orang lagi yang tersisa. Maiko dan Mari celingukan mencari sosok Satoru. Anak laki-laki itu hilang tiba-tiba. Tidak ada di area lapangan. Hanya Satoru yang belum berkumpul.
“Hei, Satoru belum berkumpul. Dimana dia? Kenapa hilang? Bukankah dia tadi ada di sekitar tiang bendera?” tanya Mari.
“Aku tidak tahu. Ngomong-ngomong tempat sampah dimana ya? Aku menemukan botol minum berserakan saat mencari teman satu kelas tadi,” tanya Akari balik. Maiko dan Mari geleng geleng kepala tidak habis pikir dengan teman barunya ini.
“Aduh, bisa bisanya kamu mengumpulkan sampah botol minum saat kita harus mengumpulkan tim,” jawab Maiko dengan memegang keningnya. Akari tidak mendengarkan. Dia mencari sebuah tempat sampah dan menemukannya di bawah pohon di depan kantor guru.