Tiga Raga

A. R. Pratiwi
Chapter #14

Hukuman menyakitkan

Alata termenung membisu di depan kamar rawat Akari, ia masih belum melihat adik kesayangannya membuka mata. Tiga hari sudah Akari terbaring tak sadarkan diri setelah kejadian yang menimpa. Tangis orang tua Akari tak terbendung, ia begitu khawatir akan keadaan yang menimpa putrinya. Kepindahan mereka pun ditunda sampai Akari membaik. Mereka mendapat keringanan karena atasan papa Akari mendengar berita mengenaskan yang menimpa putri karyawannya. Akira yang masih kecil pun menangis tersedu melihat papa, mama dan kakaknya menangis.

“Kak Alata,” panggil Akira yang masih terisak melihat mama dan papanya menangis. Alata menggendongnya lalu memangkunya, mengusap air matanya lembut lantas mencium pipinya. Alata mencoba tersenyum meneduhkan.

“Kak Akari mengapa tidurnya lama sekali? Akira rindu kak Akari,” paraunya dengan sesegukan. Alata memeluknya guna menenangkan isak tangisnya.

“Kak Alata bangunkan kak Akari, Akira lelah menangis. Akira janji, Akira tidak akan mengganggu kak Akari belajar. Akira janji, Akira tidak menyusahkan kak Akari lagi, Akira ingin dipeluk kak Akari. Kak Alata bangunkan kak Akari,” tangis Akira kembali pecah. Ia meremas jaket Alata dan bersembunyi dalam pelukan kakaknya.

“Kak Akari sedang sakit Akira, kakak tidak bisa membangunkannya. Nanti kalau kak Akari sudah sembuh, pasti memeluk Akira lagi,” ucap Alata mengelus kepala Akira dengan sayang. Dipeluknya Akira sebelum ia tak sanggup membendung banyak air matanya. Tanpa aba-aba air matanya jatuh membentuk anak sungai di kedua pipi Alata. Terjun bebas seolah itu sebuah pemberontakan. Alata menatap tembok di depannya nanar, tak sanggup melihat adiknya seperti ini. Tak lama setelah tangisan Akira, ia terlelap dalam dekapan Alata. Alata pun membenarkan posisi tidurnya.

“Kak Akari bangun, ayo bermain,” igau Akira di dalam tidurnya. Kedua orang tua Akari menoleh ke sumber suara. Tampaknya putra bungsunya sedang merindukan kakaknya yang tengah terbaring tak sadarkan diri dengan perban di kepalanya. Tak lama setelah itu papa dan mamanya berpamitan pulang sebentar untuk bersih-bersih.

“Doakan kak Akari cepat bangun ya, biar bisa bermain lagi bersamamu.” Alata mengelus lalu mencium pipi Akira. Belum genap satu jam Akira tertidur, ia tiba-tiba naik ke atas kursi dan melongok ke jendela kamar rawat Akari. Kedua orang tua Akari sedang bergantian dengan Alata untuk berjaga dan membersihkan diri. Hanya Alata yang terlihat duduk di depan kamar rawat Akari. 

“Kak, bolehkah aku memeluk kak Akari?” Alata terdiam sejenak lalu memangku Akira. Tanpa sepatah kata lagi Akira memeluk kakaknya erat.

“Kak, Akira tahu kak Akari yang memeluk Akira tadi. Cepatlah bangun, haruskah Akira memeluk kakak erat agar kak Akari bangun dan membalas pelukan Akira seperti yang Akira lakukan kepada kak Alata sekarang?” Entah apa yang dikatakan adik bungsunya itu benar atau hanya sekedar mengigau menceritakan mimpinya. Yang jelas, kalimat itu membuat tenggorokan Alata tercekat. Ia mengeratkan pelukannya dan mengelus punggung Akira lembut. Saat petang tiba, waktu untuk Alata dan Akira pulang karena bergantian dengan mama dan papanya. Papanya memberikan kunci sepeda motor dan kunci rumah kepada Alata. Tanpa sepatah kata lagi, Alata menerimanya lalu mengajak adiknya pulang.

Lihat selengkapnya