Alata terus memandangi Akari. Terbesit keinginan untuk memeluk adiknya itu. Sudah 3 hari ia tidak mendengar suaranya, tawanya, melihat tingkah lakunya, jahilnya, juga senyumannya. Kerinduannya sudah tidak bisa ditahan lagi. Ia memutuskan untuk menuju meja informasi bersama Akira untuk menanyakan kepada dokter.
"Selamat siang dok, bolehkah saya bertanya?" tanya Alata sopan.. Kebetulan sekali di meja informasi ia bertemu dengan dokter yang merawat Akari.
"Boleh, ada yang bisa dibantu?" tanya dokter itu kembali.
"Emm, begini dok. Bolehkah saya masuk ke kamar rawat adik saya? Saya sangat ingin sekali menggenggam tangannya. Selama 3 hari ini hanya mama dan papa saya saja yang boleh masuk ke ruang rawat Akari. Bolehkah jika saya masuk juga?" jelas Alata sedikit memohon kepada dokter rawat Akari.
"Sangat ingin sekali?" tanya dokternya memastikan. Ia tampak kebingungan.
"Iya betul, sangat ingin sekali banget dok. Bolehkah?" Alata benar-benar ingin bertemu dengan adiknya dan ingin memeluknya. Bahkan jika tidak diperbolehkan memeluk, menggenggam tangannya saja pun tak apa. Dokter tetap Akari terdiam sebentar.
"Baiklah, saya izinkan. Tapi berjanjilah jangan membuat keributan. Mari ikuti saya," jawab dokter itu. Alata dan Akira pun mengikutinya. Dokter menyuruh Alata untuk mencuci tangannya dan memakai baju pelindung yang disediakan.
"Baiklah, sekarang kamu boleh menemuinya. Tapi tolong sekali lagi jangan membuat keributan Dan jaga kebersihannya. Itu sangat berpengaruh kepada kondisi pasien," jelas dokter. Alata mengangguk dan tersenyum.
"Akira boleh masuk ke ruangan juga dok? Mama papa saya belum datang. Jadi jika saya masuk dia akan sendirian," tanya Alata yang juga masih memikirnya adik bungsunya. Dokter tetap Akari mengangguk mengiyakan.
"Boleh, silakan melakukan hal yang saya suruh tadi. Dan juga ingat pesan saya." Dokter itu membantu Akira mencuci tangannya dan memakaikan baju pelindung. Tak lama kemudian mereka masuk untuk menemui Akari.
"Akari, kakak datang. Tidakkah kamu ingin berbincang dengan kakak?" bisik Alata di telinga adiknya. Akira yang belum sepenuhnya mengerti hanya terdiam. Alata menggenggam tangan Akari yang memakai infus dengan lembut.
"Bangunlah, kakak mohon. Kakak merindukanmu," bisiknya dengan menempelkan tangan Akari pada pipinya. Ia mengelus tangan adiknya perlahan. Akira yang melihat kakaknya meneteskan air mata pun memeluknya.
"Kakak jangan menangis," ucap Akira dengan suara pelannya. Alata menoleh dan mengusap air matanya. Dielusnya kepala Akira lembut dan melemparkan senyum agar adiknya tidak ikut menangis. Akira turut tersenyum kemudian mendekati kakaknya, Akari. Ia mengikuti kakak sulungnya menggenggam tangan kakak tengahnya. Akira melemparkan senyum kepada Akari.
"Kakak bangunlah. Kakak sudah membuat semua orang menangis. Mengapa kakak tidur terlalu lama?" tanya Akira dengan polosnya. Alata terdiam.