Dua semester hampir terlewati, kini waktu untuk Akari menempuh ujian semester akhir tingkat pertama. Latihan soal tidak pernah telat, semua dikerjakan dengan harapan saat ujian lusa ia mampu menyelesaikannya. Maiko, Mari dan Satoru pun demikian. Mereka lebih fokus belajar daripada bermain bahkan sekedar bercanda.
“Kita bertemu lagi saat ujian sudah selesai ya. Aku menungu kalian. Oke?” kata Mira seolah sedang menyiapkan rencana misi besar.
“Setiap hari juga bertemu Mari. Kita satu kelas.” Satoru memutar bola matanya jengah. Akari dan Maiko tertawa lalu masuk kelas melanjutkan belajarnya. Mari yang merasa ditertawakan mengerucutkan bibirnya tanda ia sedang kesal.
“Awas saja kamu, jangan menyontek jawabanku saat ujian nanti!” ancam Mari.
“Siapa juga yang mau menyontek jawabanmu, nilaku hancur nanti.” Satoru mengejek. Sebelum Mari menjawab dan terjadi perdebatan, Satoru bergegas masuk kelas. Mari merasa sangat kesal ditinggal untuk kedua kalinya. Ia masuk kelas dengan wajah menggembung lalu melempar lembar latihan soal pada bangkunya.
###
“Akari! Akari! Kami disini, tak ingin mengejar?”
“Hey Akari! Kami menunggumu.”
Tawa dua anak laki-laki menyertainya. Akari pun tertawa mengejar dua anak laki-laki yang tak terlihat wajahnya itu. Akari hanya melihat dua anak laki-laki yang satu berambut putih semu kelabu, dan yang lain berambut hitam semu merah menyala. Mereka seumuran dengan Akari. Tampaknya ketiganya bersahabat dekat, telihat dari tingkah mereka yang begitu menarik perhatian.
“Akari! Lihat, danau ini bercahaya. Kemarilah!” ajak anak laki laki berambut putih semu kelabu tanpa menoleh. Akari menghampirinya. Namun, tiba tiba datang seekor naga dan pegasus yang sangat besar dan gagah. Mereka menangkap dua anak laki-laki itu dengan jaring. Akari mempercepat larinya. Mereka sudah terbang tinggi.
“Jangan mengejar Akari! Larilah! Lari! Lari Akari, lari!” teriak anak laki-laki berambut hitam semu merah menyala. Akari melompat tinggi mencoba meraih.
“Tidak, kalian tidak boleh membawa mereka. Tidak! Jangan! Tolong.. tolong.. tolong Akari!” Akari berteriak meminta tolong. Namun hening yang didapat.
“Lepaskan mereka! Jangan membawa mereka pergi! Kalian tidak boleh membawa mereka pergi. Tidak! Tidak boleh! Jangan… jangan…”
Alata mencoba membangunkan adiknya dengan menepuk pelan bahunya. Akari masih menjerit ketakutan. Alata bingung mengapa Akari sampai mengigau seperti ini. Alata meraih tubuh Akari untuk memeluknya. Ia memanggil namanya dan kembali menepuk pelan pipi Akari. Akhirnya Akari terbangun, ia terengah engah seolah mengejar atau dikejar sesuatu. Tubuhnya mengeluarkan keringat dingin, jantungnya pun berdegup kencang. Tiba tiba Akari duduk tegap menghadap Alata.
“Kak, temanku dibawa pergi naga dan kuda pegasus kak. Tolong mereka. Naga dan pegasus itu besar sekali. Kak tolong mereka,” pinta Akari tergopoh-gopoh.
“Teman yang mana? Disini tidak ada naga maupun pegasus Akari, kamu hanya bermimpi.” Alata mengelus bahu Akari guna menenangkannya. Akari terdiam menatap kosong kasurnya. Alata kembali memeluk adiknya, Akari.
“Mimpi? Mengapa terasa begitu nyata?” kata Akari setengah berbisik.
“Mungkin kamu sedang rindu temanmu itu. Kalau boleh kakak tahu, teman yang mana?” tanya Alata yang langsung membuat Akari berdiri mengambil buku album diatas meja belajarnya. Ia mengambil dua foto yang belum tertempel di albumnya.
“Ini kak, mereka yang ditangkap oleh seekor naga dan pegasus besar. Mereka menangkapnya dengan jaring yang terbakar.” cerita Akari kepada kakaknya.
“Kamu sudah mengingat mereka? Teman dirumah lamamu?”
Tubuh Akari mematung. Ia tidak ingat saat di rumah lama berteman dengan mereka. Akari mengatakan bahwa mereka teman hanya karena dalam mimpinya mereka sangat akrab. Ia tidak ingat mereka adalah teman lamanya. Namanya pun Akari tidak mengingatnya, hanya fisik tubuh dan rambutnya saja yang terlihat di mimpinya.
“Ingat? Akari sepertinya belum mengingatnya. Nama mereka pun Akari tidak tahu. Akari hanya menyimpulkan. Karena dalam mimpi Akari, rambut mereka sama dengan anak yang ada di dalam foto ini. Akari tidak melihat wajahnya dengan jelas dalam mimpi Akari,” jelas Akari panjang lebar.
“Baiklah, sekarang tidurlah lagi. Besok hari minggu kan? Mari kakak ajak jalan jalan. Menyegarkan pikiranmu sebelum hari senin berkutat dengan kertas soal dan jawaban,” perintah Alata yang dibalas anggukan pelan oleh Akari.
Alata menyelimuti Akari lantas mencium kening adiknya singkat. Ia mematikan lampu kemudian melenggang menuju pintu. Namun, langkahnya terhenti.