Tiga Raga

A. R. Pratiwi
Chapter #27

Ingatan, kembalilah!

Ryu terus menghantam pintu gua dengan ekornya. Sesekali bergantian dengan Sora yang mencoba mendorongnya. Namun nihil bagi Sora yang kekuatannya telah raib diserap oleh baju besi ditubuhnya. Ryu tanpa menyerah terus membakar pintu gua dilanjut menghantamnya berulang kali dengan keras. Usahanya sepertinya tidak sia sia. Saat batu itu hangus harus segera diruntuhkan, jika tidak, batu itu akan kembali mengeras.

Ryu mulai memahami cara kerja pintu gua tersebut. Namun, Ryu tidak bisa terus menerus mendekat kepada pintu gua, atau darah tak berhenti mengalir dari lehernya. Ryu terlalu memaksakan menarik tubuhnya mendekati pintu gua meskipun ia tahu rantai yang melilitnya tidak terlalu panjang dan tak membantunya mendekati pintu gua. Ujung atas pintu gua mulai hancur, terlihat secercah cahaya disana. Membuat Sora dan Ryu menyunggingkan senyum.

“Biarkan aku yang melanjutkan, kamu beristirahatlah. Aku tidak ingin kamu kenapa napa. Biarkan aku sekarang yang berusaha,” pinta Sora. Ryu pun mengangguk kemudian mundur mendekati rantai dan duduk.

“Akari, tunggu kami. Kami akan segera menghampirimu. Mengobati rasa sakitmu,” batin Sora sambil memukul pintu gua dengan pecahan batu pintu itu sendiri. Perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit, pemandangan di balik pintu gua terlihat. Namun, hanya 5 atau 7 cm saja tingginya. Jika dilihat dari luar, hanya mata Sora yang terlihat.

Meskipun demikian, udara segar serasa menyapa mereka berdua, membuat hati dan perasaan mereka sedikit tenang. Sora pun pantang untuk menyerah, ia terus memukul pintu gua sekuat yang ia bisa. Membuat celah agar keduanya memiliki harapan baru. Tinggal bagaimana mereka mengontrol emosi dan hatinya agar rantai dan baju besi yang bertengger pada tubuh mereka dapat terlepas. 

Berjam jam waktu mereka gunakan untuk membuka pintu gua. Bergantian jika salah satunya lelah. Ryu yang akan menghantam pintu gua jika Sora tidak memiliki tenaga lagi, begitupun sebaliknya. Jika Ryu merasakan sakit di lehernya, Sora akan menggantikannya membuat celah pada pintu gua tersebut. Hanya satu atau dua kali mereka akan beristirahat untuk mengisi kekuatan mereka. Tiga perempat bagian lagi pintu gua itu terbuka. Mereka memutuskan untuk menghentikan usahanya hari ini dan akan disambung esok hari.

“Sepertinya cukup untuk hari ini Ryu, besok kita akan melanjutkannya lagi. Kita kelelahan, butuh istirahat. Hari pun nampaknya sudah sore,” ajak Sora. Ryu mengangguk dan mulai berbaring untuk beristirahat. Sora turut berbaring di samping Ryu.

Diambilnya kamera saku milik Akari lantas mengoperasikannya. Namun hanya gelap yang terlihat. Kamera itu telah kehabisan baterai 2 setengah tahun yang lalu. Ia tidak bisa menghematnya lebih lama lagi. Ia hanya mampu menghemat enam bulan tanpa charger. Ia akan membuka kameranya satu bulan sekali jika merasa sangat merindukan Akari. Beruntungnya, Akari meninggalkan kameranya dalam kondisi baterai terisi penuh.

“Aku merindukanmu Akari, sangat merindukanmu.” Sora meringkuk memeluk kamera saku milik sahabatnya itu. Ryu yang mendengar kalimat Sora memalingkan wajahnya. Ia tidak ingin terlihat bersedih di depan Sora. Meski kenyataannya Ryu juga amat merindukan sahabat manusianya. Terlebih ia sempat marah dan bersalah sangka kepadanya. Itu sungguh terasa menyakitkan bagi Ryu.

Saat Sora nampak sudah terlelap dengan rasa lelahnya, Ryu berdiri dan melihat sisi luar pintu gua. Matahari sebentar lagi akan tenggelam. Ryu memutuskan untuk berusaha sekali lagi hari ini. Ia menyemburkan apinya cukup lama lantas kembali menghantam dengan ekornya. Hantaman itu sedikit demi sedikit meremukkan pintu gua.

Beberapa jam kemudian, pintu gua itu tersisa setengah bagian lagi. Ryu sudah sangat lelah dengan hari ini. Lehernya pun sudah mulai terasa perih. Tenggorokannya seolah kekeringan. Ia memutuskan memakan beberapa buah milik Sora untuk menyegarkan tenggorokannya. Setelah dirasa cukup, Ryu kembali berbaring untuk tidur. Sungguh perjuangan yang membutuhkan tenaga.

###

“Akari, bagaimana cara mendirikan tendanya? Kamu yang sering memasang benda ini bukan? Bantu Aku, Maiko biarkan saja berbenah alat masak dengan Azumi,” gerutu Mari. Akari terkekeh lalu berdiri untuk membantu Mari.

“Kamu lemah sekali Mari, mendirikan tenda saja tidak bisa.” Tomi tertawa dengan kalimatnya sendiri.

“Memang kamu bisa? Tendamu saja yang menyentuh hanya Seiko dan Satoru. Kamu duduk saja melihat mereka,” belanya berkacak pinggang.

“Hey, Aku merapikan bahan masakan ya, jangan menghina kamu!”

“Apa yang kamu rapikan? Semua sudah dikerjakan Tama. Memang benar bukan kamu hanya duduk melihat temanmu bekerja. Karena kamu tidak bisa melakukannya! Ngaku saja deh, jangan …” Kalimat Mari dihentikan oleh Satoru.

“Hey kalian berdua! Bisa tidak jangan banyak ngomong? Pekerjaan tidak akan selesai hanya dengan mulut kalian. Hey Mari! Kamu menyuruh Akari memasang tenda tapi kamu malah bertengkar dengan Tomi dan menyalahkannya tidak melakukan apa apa,”

“Nah, itu dengar kan?” sahut Tomi.

“Kamu juga! Seiko bersusah payah mendirikan tenda kamu malah enak enakan duduk. Membantuku tidak, Tama juga tidak,” marah Satoru.

Mereka berdua diam merasa bersalah. Namun, Mari dan Tomi tetaplah Mari dan Tomi. Meskipun kalimatnya terhenti, tapi tatapan mata dan ejekan mereka masihlah saling terlempar. Seiko san Akari hanya mampu geleng geleng kepala.

“Tenda sudah siap,” ucap Akari, Satoru dan Seiko bersamaan. Mereka saling toleh lantas tertawa. Maiko, Mari, Azumi, Tama dan Tomi menoleh.

“Iya bapak ibu tenda, kami sudah melihatnya,” Maiko menjawab perkataan Akari, Satoru dan Seiko. Mereka semua kembali tertawa.

Lihat selengkapnya