Pagi ini, Kolonel Inf. Larung Nusa sibuk membereskan arsip-arsip di ruangan barunya. Baru tiga hari lalu, dia boyongan ke ruang kerja Komandan Satuan-81 Gultor Kopassus1 ini. Karena memang, dia baru saja menjabat sebagai Komandan Gultor. Sebuah pengangkatan yang penuh kontroversi, sebenarnya. Bahkan, di kalangan Angkatan Darat sendiri.
Pasalnya, banyak yang meragukan kemampuan Nusa. Tubuh komandan baru itu tegap berwibawa. Namun, pipinya sedikit cembung, wajahnya pun baby face. Paras mulus itu terasa kurang gahar untuk ukuran serdadu lapangan. Di lain sisi, statusnya sebagai menantu menteri pertahanan di republik ini menyebabkan dirinya dituduh sana-sini sebagai perwira karbitan. Apalagi, karier militer Nusa tergolong tanpa onak. Di usia ke-38 saja, dia sudah dilantik sebagai Dansat (Komandan Satuan) Gultor.
Cepat sekali. Bisa jadi, itu memang karena prestasinya yang mentereng berkat berbagai kursus keterampilan Special Forces yang dia ikuti di dalam maupun luar negeri, serta pengalaman langsung bertempur di daerah-daerah konflik. Namun, bisa juga karena dia menantu seorang menteri. Atau, karena kedua faktor tersebut sekaligus.
Yang pasti, sudah lama Nusa geram mendengar orang-orang berbicara di belakang soal kapasitasnya. Termasuk media-media yang cenderung memandangnya sebelah mata. Diam-diam, Nusa berharap, terjadi kondisi yang luar biasa, untuk membuktikan kualitasnya sebagai seorang prajurit profesional.
Sang kolonel hanya belum tahu, kondisi yang luar biasa itu sebenarnya sudah menantinya. Nun jauh di daerah paling timur negerinya, sedang terjadi sebuah peristiwa serius yang menjadi pertaruhannya: Apakah dia memang tentara yang memiliki kompetensi atau hanyalah seorang perwira karbitan?
Kriiing ....
Telepon di ruangan itu berbunyi, tepat saat Nusa hendak keluar dan menjalani latihan bersama para anak buahnya.
Kriiing ....
Nusa mengangkatnya langsung. “Ya?”
“Pak Nusa, ada telepon dari Gema,” suara renyah operator wanita di Mako Kopassus terdengar. Gema adalah anak sulung Nusa. Umurnya saat ini masih 9 tahun.
Nusa melihat jam tangannya sesaat. Lalu, “Oke, sambungkan.”