Tiga Sandera Terakhir

Noura Publishing
Chapter #3

Chapter 3

Langit yang tadinya terang kini kelam. Seolah me­wa­kili perasaan pemuda-pe­mudi yang malang itu. Meskipun sudah tidak lagi ditodong, gerombolan be­ringas itu masih mengepung mereka. Senjata jarak pendek maupun senjata pelontar masih ada di dekat mereka. Kapan pun bisa mereka gunakan.

Lari atau melawan sama saja dengan bunuh diri. Bahkan tanpa senjata api yang mereka sandang, orang sebanyak ini sudah cukup untuk menciutkan nyali pihak sandera. Para komen, penduduk asli Papua, terkenal dengan kelihaiannya memanah dan menombak dalam jarak puluhan meter. Sedangkan turis-turis ini, sebilah silet cukur saja tidak mereka kantongi. Mereka pun hanya bisa pasrah ketika disuruh berbaris di tengah halaman penginapan.

Para warga berdatangan. Kegaduhan ini rupanya telah mengundang mereka. Bukan untuk menonton. Bukan pula untuk berpesta bersama gerombolan itu. Mereka justru ingin menolong para wisatawan yang sedang apes itu. Dengan coreng-moreng dan aksesori perang yang tak kalah mengerikan, mereka membawa senjata-senjata tradisional: parang, panah, tombak, kapak, dan sebagainya.

Akilas dan Mikael saling pandang. “Apa ini?”

Terjadi dialog dalam bahasa Nduga. Dari gestur para penduduk yang baru datang itu, sedikit banyak bisa ditebak, mereka berniat untuk memerangi gerombolan brutal di bawah komando Akilas dan Mikael itu. Para sandera merasa sedikit lega, ada satu lagi pihak yang berdiri di sisi mereka. Jumlahnya pun signifikan. Cukup untuk mengimbangi gerombolan penyandera.

Namun, dardardar... dardardar! Akilas memberondongkan senapannya.

Beberapa penduduk ambruk terluka, sebagian meregang nyawa tertembus peluru-peluru berukuran 5,56 x 45 mm. Sebagian kocar-kacir mundur. Akilas mengingatkan bahwa semua penentang akan bernasib seperti itu. Dan dia memerintahkan anak buahnya untuk tidak ragu menembaki siapa pun yang masih terlihat batang hidungnya.

Tak ayal, kelompok penduduk yang bermaksud baik itu lari tunggang-langgang. Para sandera pun menahan napas, melihat orang-orang yang sempat memberi harapan itu tak menampakkan diri lagi. Tidak jadi ada perang antara yang baik dan yang jahat. Tidak ada pertolongan. Mereka hanya bisa berdoa, semoga di antara orang-orang yang kabur itu ada yang segera melapor ke pihak berwajib.

Akilas kembali menatap satu per satu tawanannya. “Sekarang, masuk. Ambil bekal kamu. Kita mo bawisata sebentar lagi,” pria berkumis keriting itu menyeringai.

Anak buah Akilas segera mengamankan perintah tersebut. Mereka menggiring kelima sandera kembali ke penginapan.

“Pakaian, bekal makanan, obat-obat, terutama obat pencegah malaria, semua penting-penting masuk tas. HP tidak! Kalau ketahuan ada HP, awas! Sepuluh menit, kumpul sini!” instruksi Mikael. Dia lalu memberi kode pada anak buahnya untuk mengawal masing-masing sandera. Satu sandera menyiapkan perbekalannya dengan dikawal dua orang.

Roman White, pendaki gunung asal Australia, terlihat tidak nyaman dengan rencana “berwisata” itu. Dia, yang lumayan lancar berbahasa Indonesia, memberanikan diri bertanya, “Maaf, Bapak-Bapak ini sebenarnya siapa? Apa kami pernah bersalah kepada Bapak-Bapak?”

Mikael berpaling kepada Roman. “Kami orang yang selama ini dihina, disiksa, dipojokkan oleh Indonesia. Padahal, ini kami punya tanah kelahiran!”

Ambo dan Roman mencoba mengolahragakan otaknya. Perlahan tapi pasti, kedua pria itu akhirnya tahu siapa gerombolan ini. Tapi, mereka takut mengonfirmasikannya.

Lihat selengkapnya