Seiring hari yang telah berlalu, Arin semakin sering ke kos dewa. Selain untuk memeriksa dan mengontrol hasil perawatannya, dia juga senang bercengkrama dengan anak kosan. Amar si mesum, Abil si sok cool, Mbah yang suka bikin jengkel dan Nana yang konyol. Mereka menyenangkan bagi Arin.
Kos dewa kini menjadi rumah kedua bagi Arin. Seumpama kos itu menerima wanita, dia rela pindah ke sana. Namun apa daya. Tapi terkadang kalau malas pulang, dia menginap di kamarnya Nana. Terkadang Arin mengajarkan Nana memasak. Bagi Nana, Arin adalah sosok kakak yang dewasa.
Dengan seringnya frekuensi bertemu, perasaan suka kepada Arin yang ada di dalam hati Abil semakin membesar. Dia tak mampu lagi untuk menahan. Maka dia memutuskan untuk menembaknya. Toh selama ini Arin tidak pernah cerita tentang pacarnya. Dia yakin, cewek cantik berambut pendek itu jomblo.
Abil berdiri sendiri di depan sebuah restoran paling mahal di Jember. Dia hendak membuat Arin terkesan dan berencana menembaknya di situ. Begitu masuk, ternyata ramai sekali. Lelaki jangkung berkulit hitam itu kebingungan mencari tempat. Seorang pelayan datang menyambutnya dengan ramah.
“Selamat malam Mas, untuk hari ini hanya tersedia meja di sebelah sana,” kata sang pelayan sembari menunjuk ke meja yang bersebelahan dengan toilet. Persis di sebelah toilet. Apa boleh buat Abil menerima meja itu.
Seperti biasa, Abil memesan teh anget nggak pakai gula untuk menemaninya menunggu kedatangan Arin. Sambil berlatih kata-kata, dia menyeruput teh tawar pesanannya.
1 jam 12 menit berlalu.
“Maaas, maaf ya telaat. Tadi di jalan tiba-tiba ada anak kecil nyebrang jalan sembarangan,” kata Arin yang datang tiba-tiba.
“Waduh, tabrakan? Kamu nggak papa? Motormu gimana?” tanya Abil khawatir.
Dengan senyum-senyum malu Arin menjawab, “Oh nggak kok, motorku lagi dipinjem anak kosan, aku naik angkot.” Lalu dengan cepat dia ngeles, “Eh, mana yang lain, kukira mau ngumpul bareng.”
“Pada nggak bisa datang. Amar sibuk nyuci celana dalam, Mbah nganterin Ibu Kos belanja, Nana, mmm kayaknya mbantu Amar nyuci-nyuci.”
“Nana bantu Mas Amar nyuci celana dalam?” tanya Arin heran.
“Mmmm ... kayaknya sih begitu.”
Di kosan, Amar, Mbah dan Nana yang sedang nganggur sambil nonton tv, bersin-bersin karena dirasani. Abil terpaksa berbohong biar bisa berduaan.
“Pesan makan yuk, Mas. Aku laper.” Arin memanggil pelayan.
Restoran ini sangat terkenal dengan menu nasi pecelnya. Bumbu pecel yang dihidangkan begitu nikmat, encer, lagi banyak. Abil menyarankan Arin untuk mencoba. Dipesannya 2 porsi nasi pecel.
“Eh Mas, kok mejanya deket toilet sih?” tanya Arin, diiringi ada seorang kakek-kakek yang masuk ke toilet.
“Ya gimana lagi, tempatnya penuh. Cuma di sini yang kosong.”
“Kok, nggak cari tempat lain? Di sini juga mahal lho."
“Ah, jangan khawatir kalau urusan harga.” Sombongnya Abil keluar. Dia sudah nabung seminggu makan indomie demi traktir Arin.
Begitu nasi pecel itu datang dan dihidangkan, ternyata benar, bumbunya banyak. Saking banyaknya hingga memenuhi nasi yang ada di piring. Begitu encer, begitu coklat dan konon (jangan dibalik) katanya sangat nikmat.
“Tunggu dulu, sebelum makan, kita tidak boleh lupa ....” kata Arin mengingatkan.
Abil tersentak jiwanya. “Subhanallah, dia mengingatkan saya untuk berdoa sebelum makan. Sudah cantik, alim lagi... Betapa pantasnya ia menjadi ibu dari anak-anak saya,” pikir Abil dalam hati mengagumi sosok Arin. Lantas ia mengangkat tangannya, bersiap untuk berdoa. Arin pun demikian, ia mengangkat tangannya ... yang sedang menggenggam hape dan mengambil gambar makanan.
“Difoto dulu, masukin instagram, hesteg pecel, hesteg met maem guys, hesteg buncit deh.” Arin sibuk dengan hapenya.
Abil diam aja. “Kirain ngajak berdoa,” pikirnya dengan muka lempeng.
Karena merasa lapar dan penasaran dengan pecel yang katanya nikmat itu, mereka langsung memusatkan perhatian pada sepiring pecel yang ada di hadapan mereka. Diaduklah sayuran dan nasi itu hingga bercampur dengan bumbu pecelnya.