Di ruang Tv, Nana sedang diajari memakai make up. Dia memegang sebuah kaca dan Arin memoleskan make upnya sambil menjelaskan cara dan fungsi alat make up tersebut. Les private merias wajah.
“Emang ngapain kok tumben belajar pakai make up?” tanya Mbah sambil nonton Tv.
“Nana pengen berubah menjadi dewasa, Mas ….”
“Memangnya dewasa itu cuma pakai make up? Dewasa itu mandiri, Na. Contohnya, bisa naik sepeda sendiri. Jadi kalau ke kampus nggak minta dianter,” kata Mbah menyindir.
“Kalau gitu, ajarin ya Mas. Tapi jangan bilang-bilang Ibu,” pinta Nana sambil kedip-kedip.
Mbah celingukan. Dia takut mau ngajarin Nana. Pasti nanti motornya kenapa-napa. “Amar, aja …” katanya sambil menunjuk ke Amar.
“Apaan?” Amar bingung karena namanya disebut-sebut waktu dia sedang konsentrasi menonton Ceribel di TV.
“Sip, kan, Mar?” Mbah mengacungkan jempolnya.
Amar yang nggak tau apa-apa lempeng aja berkata, “Sip!” biar dia bisa segera kembali berkonsentrasi menyaksikan sekumpulan gadis yang giat menari dan berkeringat itu.
------------------------
Terik matahari begitu menyengat. Namun tak menyurutkan ambisi Nana untuk belajar motor. Dia dan Amar sedang berduaan di lapangan. Mereka duduk di atas Helbeh (motornya Amar). Nana di depan dan Amar di belakang.
“Mbah kampret. Bisa-bisanya ane dijebak gini,” pikir Amar dalam hati.
“Maas ayo, ini gimana caranya?” Nana mengajak Amar untuk fokus.
“Oiya, sori sori. Itu kaki kirimu taruh di footstep, terus masukkan gear 1. Habis itu, tanganmu pegangin ke stang.”
“Stang itu yang mana, Mas? Yang ini?” tanya Nana.
“Yassaalaam ... itu spion!”
“Oh, yang ini ya? Yang besar dan panjang ini ya?”
“Ya tentu besar dan panjang, ane pan arab.”
“Apa Mas?”
“Eh, nggak .…” Amar celingukan. “Aduh, pikiran ane mulai kotor,” pikirnya dalam hati.
“Trus diapain Mas?”
“Diputer itu stangnya.”
Weeeer! Helbeh standing.
“Uwaaaaa …!” Nana histeris.
“Kyaaaaaa ...!” Amar teriak dengan feminim.
Gubrak! Helbeh tersungkur. Untung Nana dan Amar pakai helm SNI yang 100 ribuan, jadi kepala mereka selamat. Cuma badannya saja yang babras semua. Amar sedih menangisi nasib motornya yang belepotan tanah.
“Ayo mas, coba lagi .…” Nana masih bersemangat.
Amar pasrah. Dia membangkitkan Helbeh dan bersiap lagi.
“Na, kali ini jangan diputer kenceng-kenceng. Taruh tangan ente dengan lembut di stang itu. Nah, habis itu dipelintir pelan-pelan.” Amar memberi instruksi dengan detail.
Begitu Nana memutar stangnya dengan lembut, Helbeh pelan-pelan berjalan. Kaki Nana masih di tanah. Dia berusaha menyeimbangkan motor. Tapi kakinya terlihat menyeret seketika Helbeh berjalan mulai agak kencang.
“Kakimu diangkat Na, taruh di footstep.” Amar mulai khawatir.
Begitu kaki diangkat, Nana tidak bisa menyeimbangkan diri. Setir terbanting ke kiri dan ke kanan.
“Uwaaaaa …!” Nana histeris.
“Kyaaaaaaa …!” Amar teriak dengan feminim.
Helbeh kembali jatuh.
“Kok gitu nyetirmu, Na? Kayak orang nggak bisa naik sepeda aja.” Amar emosi dikit.