Sekelumit Persahabatan Anak Kos

abil kurdi
Chapter #8

#8. Si Mesum yang Terkontrol (2)

Nana baru selesai siaran, dengan tongkat berjalannya, dia pergi keluar studio. Hari ini anak kosan sedang sibuk jadi Nana terpaksa pulang sendiri. Numpak angkot.

“Hey, adinda Nana, mau kemana kiranya engkau?” tanya senior penyiar yang kurus ceking. Nampaknya senior ini persisten menggoda dia.

Nana tersenyum paksa, kehadiran senior itu membuatnya malas, namun apa daya dia sungkan. “Ini Mas, mau pulang,” katanya dengan setengah tersenyum.

“Kok nggak dijemput?”

“Nggak, Mas. Nana pulang sendiri naik angkot.”

“Eh, jangan dong. Masa cantik-cantik naik angkot. Mari, daku antar dirimu.”

“Nggak usah Mas, ngerepoti.” Nana malas harus satu mobil dengan orang yang jarang mandi itu.

“Udah, Na, terima aja. Daripada naik angkot. Udah, sana ....” Beberapa orang senior yang juga baru pulang siaran mendukung senior kurus itu. Namanya juga sesama senior, mereka saling membantu. Hingga mau tidak mau, Nana terpaksa menerima untuk diantar pulang.

Di mobil terjadi situasi canggung. Nana hanya terdiam membisu.

“Rumahmu dimana, Na?” tanya senior itu.

“Di jalan baturaden, Mas. Nanti turunin di depan gang aja. Soalnya kalau mobil masuk, susah keluar nanti. Jalannya sempit.”

“Jangan dong, harus depan rumah. Daku ini sudah ahli nyetir mobil kok jadi tenang saja.” Senior itu membanggakan dirinya. “Yang biasa jemput kamu kok ganti-ganti? Pacarmu yang mana?”

“Oh, itu Mas-mas kosan. Nana belum punya pacar.”

Senior itu langsung girang. Ternyata Nana masih jomblo, kesempatannya terbuka lebar.

“Mas, berhenti di gang sini aja,” kata Nana.

“Nggak usah, tenang saja.” Senior itu memaksa memasukkan mobilnya ke dalam gang yang sempit. Dengan penuh kehati-hatian, dia mengendarai mobilnya hingga sampai di depan kos dewa.

Nana turun. “Makasih ya Mas. Jalannya sempit, kan?”

“Tenang aja, daku ini ahli. Udah nyetir mobil dari umur 10 tahun.”

Sambil dada-dada, senior itu memundurkan mobilnya. “Dadah Nana! Sampai kita berjumpa esok hari!!” teriaknya.

Plung! Mobilnya masuk parit.

 “Asem tenan ...” pikir si senior kurus.

Nana bermuka lempeng, lalu masuk ke rumah. Di dalam rumah hanya ada Amar yang terlihat gelisah.

“Mana sih nih anak ...” gerutu Amar dalam hati. Sudah satu jam setengah dia menunggu Arin.

“Mas Amaar! Maaf ya aku terlambat, tadi ada tukang bakso yang rombongnya habis kemalingan,” ucap Arin tergopoh-gopoh. Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang.

“Iya, gapapa," ujar Amar santai setengah kesal. "Terus, ente bantuin itu tukang baksonya?”

“Mmmm ... eh, Mas Amar itu di depan ada orang mobilnya kecebur parit, siapa ya? Sampai dilihatin warga.” Arin nyelimur.

“Lho, masih kecebur dia? Itu senior yang ngejar-ngejar Nana, Mbak. Tadi Nana dianter, trus pulangnya kecebur deh dia,” Nana menimpali.

“Kamu kok nggak bantuin? Kasian lho ....”

“Yeee biarin aja, orang tadi Nana udah bilang suruh turunin di depan gang. Eh, dia nekat masuk.”

“Oooh,” kata Arin santai.

“Ayo Mas Amar, nunggu apalagi, mari berangkat!” Arin mengajak Amar selfie dulu dan memasukkan fotonya di media sosial. “#NemeninMasAmar, #Jalan-jalan, #PenasihatCinta, #CariDeodoran.

Satu per satu stan parfum di mall dijajal oleh Arin dan Amar. Banyak yang tidak cocok. Terlalu menyengat, terlalu wangi, baunya kayak tante-tante arisan, dsb. Hingga mereka menemukan sebuah parfum yang baunya menyenangkan. Sebuah parfum dengan botol kaca yang menawan.

“Nih, Mas. Cocok ini, wanginya macho,” kata Arin membaui parfum yang ia semprotkan ke tangan Amar.

“Iya, bener juga ente. Ane setelah mencium bau ane sendiri habis pake parfum ini, jadi tambah cinta sama diri sendiri. Aduh, jadi pengen ke kamar mandi. Berapa harganya?”

“350 ribu Mas,” kata Arin santai.

“Ealah buset. Nggak jadi dah. Mending ambil yang ini aja, 20 ribuan.”

“Yah, Mas ... katanya mau ngerayu cewek, kalau itu sih buat ngerayu bencong. Udah ambil aja yang ini.”

“Aduh, tapi mahal!”

Mereka saling memaksa satu sama lain. Hingga tanpa sengaja botol parfum itu terselip dan jatuh ke lantai. Pemilik toko marah dan datang menghampiri mereka.

“Heh, pacaran kok di sini! Pecah berarti membeli. Sini bayar!” kata Tante-tante tukang jaga toko parfum itu dengan kejam. Dengan sedih, Amar mau tak mau membayarnya.

“Sini aku ikut urunan,” kata Arin membuka dompetnya.

Amar sebenarnya senang, namun dia ingat kata-kata Abil. “Inget Mar, lelaki sejati tidak boleh membiarkan seorang wanita mengeluarkan duit sepeser pun ketika mereka jalan bareng.” Maka dari itu Amar menolaknya. Dengan wajah terpaksa ia membayar semua kerugian.

“Yaah, sia-sia deh Mas. Kamu sih ...” ujar Arin kecewa.

Amar yang tak kehilangan akal lalu melepas bajunya.

“Kyaaaa, Mas! Kamu mau ngapain?” Arin terkejut.

“Eman Rin, ane udah bayar ini parfum masa kaga dapet apa-apa.” Amar menempelkan bajunya ke lantai yang masih penuh dengan cairan parfum tadi hingga terserap semua.

“Aha! Dengan begini ane tidak rugi. Hahahahaha!” Amar memakai bajunya lagi, walaupun sudah basah kuyup oleh parfum. Tapi lama kelamaan dia jadi pusing. “Aduh, kepala ane pusing. Kurang oksigen. Baunya terlalu menyengat.”

Arin tepok jidat.

Amar terpaksa beli baju baru. Baju yang basah kuyup karena menyerap parfum mahal tadi dimasukkan ke dalam kresek. Katanya nanti kalau udah di kosan, bajunya biar diperas dan airnya bisa dimasukkan di botol. Agar tidak rugi-rugi amat. Atas saran Arin, dia juga membeli minyak rambut, lulur dan berbagai macam bahan kecantikan.

“Buset Mar, kamu beli sebegini banyak barang buat perawatan badan?” tanya Abil heran setelah melihat Amar membawa sekresek besar sabun dan segala macam perlengkapan perawatan tubuh.

“Iyo, Bil. Lha ane disuruh Arin ...” jawab Amar santai. Arin hanya tersenyum dan mengisyaratkan tanda peace dengan jarinya.

“Lha terus ini 2 kardus indomie ini apa?” tanya Abil lagi.

“Itu buat ane makan sebulan ke depan. Duit ane habis buat beli beginian. Eh kalau ente makan, lauknya sisa, ane minta ya,” ujar Amar memelas.

---------

Lihat selengkapnya