Arin buru-buru masuk ke kosan, memecah keheningan di antara anak kos yang sedang santai di depan TV. “Mas Abil, kasusmu di ACC sama dosennya,” kata Arin girang.
“Apanya itu?” Nampaknya Abil lupa.
“Gigimu di ACC. Jadi pasien cabutku ya?”
“Ooooh, yang kemaren foto. Kan giginya belum tumbuh. Gimana cabutnya?”
“Jadi ya, nanti dibius dulu, trus gusinya disobek creeeees! Tulangnya dikurangi fuuuush! Baru giginya dicabut ckrak ckrak ckrak,” kata Arin sambil memeragakan dengan tangannya.
“Waduh ngeri sekali ....” Keringat Abil bercucuran.
“Oke, sip. Nah, sekarang siapa yang mau makan? Kumasakin.” Arin langsung menuju ke dapur untuk memasak makanan. Moodnya lagi bagus. Abil masih tercengang merinding mendengar deskripsi Arin tadi.
“Bil, awas kalo ente mundur jadi pasiennya Arin.” Amar mengepalkan tinjunya yang halus.
“Iya, kagak dimasakin lagi kita nanti,” Mbah menambahkan.
“Eh denger nggak kalian tadi. Ngeri lho, gusinya disobek-sobekin.” Abil terlihat gelisah.
“Ya elah disobek doang,” ujar Amar santai. “Iya, ya, ngeri ya ....” Baru sadar dia.
“Pokoknya, ini tanggal tua. Kita-kita pada kehabisan duit. Kalau Arin kaga masak, alamat kita makan endog ceplok (telur mata sapi) 3 kali sehari.” Mbah terlihat serius.
“Endog ceplok 3 kali sehari Bil. Bisulan jamaah kita,” Amar menimpali.
Abil masih gelisah.
Kiranya dia hendak membatalkan dirinya menjadi pasien. Dia melangkah ke dapur menuju Arin. Namun, Amar dan Mbah menghalangi. Dengan penuh perjuangan, dia berhasil memasuki pintu dapur walau tangan dan kakinya ditahan oleh Amar dan Mbah.
“Ada apa kok ribut?” tanya Arin.
“Nggak papa kok,” jawab Amar sambil menahan Abil dengan kuat.
“Rin, anu ... tentang cabut tadi,” Abil bergulat kuat dengan kedua teman kosnya.
Arin heran, lalu dengan mengangkat pisau yang sedang dipakainya memotong bawang, dia berkata, “Kenapa memangnya Mas?” Pisau Arin berkilat-kilat.
Abil terbujur kaku.
“Mmmm ... nggak apa apa. Saya mau kok.”
Abil memang bilang kalau dia mau, tapi di hari kemudian tiap diajak Arin untuk ke kampus dia selalu bilang ada kuliah jadi tidak bisa. Bolak balik seperti itu. Arin jadi curiga, namun dia tak bisa memaksa temannya itu, dia masih mempercayainya.
------------------------
Sudah 2 minggu berlalu. Warna WC yang nampak di depan mata Abil masih saja merah. Pantatnya masih berdarah ketika buang air. Dia galau. Kini ia percaya pada hasil googlingannya. Ia yakin terkena kanker lubang pantat (silit), dan umurnya tak lama lagi.
Di lantai atas kosan, dia merenungi nasib. Kenyataan bahwa dia akan mati karena pantatnya sendiri menjadikannya galau setengah mati. Dengan menghisap sepotong rokok, dia mencoba menenangkan pikiran dan menerima kenyataan.
Amar terlihat membawa seember celana dalam. Ini sudah jadwalnya mencuci sempak. Melihat Abil yang sedang terlihat gelisah, dia malah lempeng meneruskan mencuci. Karena bila tidak segera dicuci maka dipastikan dia akan kehilangan sinar matahari dan sempaknya tidak akan kering besok. Kesimpulan, Amar lebih memikirkan nasib isi celana dalamnya daripada teman.
“Mar, kalau saya pergi dan tak kembali, apa kau akan sedih?” Tiba-tiba Abil mengajak Amar yang serius mencuci, untuk mengobrol.
“Sudah barang tentu anak muda, kita pan saudara seperjuangan,” kata Amar dengan bijak.
Abil manggut-manggut tersenyum lega. Kiranya masih ada kawan yang akan merasa kehilangan bilamana ia telah tiada.
“Bil, gimana ya caranya biar ane nggak perlu nyuci sempak, males banget” keluh Amar.
“Itu permasalahan yang sungguh mudah, Mar,” jawab Abil penuh gaya.
“Terangken ....” Amar memperhatikan dengan seksama.
“Diem-diem engkau masukkan celana dalammu beberapa biji aja, jangan banyak-banyak nanti ketahuan, ke dalam ember baju kotor orang laen. Nah ntar kan dia yang nyuci itu. Pas udah kering di jemuran, diem-diem tinggal kamu ambil dan tiriskan.”
“Gokil! Pinter ente Bil!”
“Mar, kamu lupa ya? Saya ini nggak pinter kok. Saya ini ... jenius.” Abil sok cool.
Amar kembali meneruskan mencuci sempak. Abil meneruskan menghisap rokok. Tiba-tiba sewaktu mencuci, Amar menemukan sehelai sempak tak dikenal yang bolong tengahnya.
“Ancrit, ini sempaknya siapa!?” tanya Amar.
Hening.