Mobil sedan merah milik Arin sudah sampai di parkiran gedung pernikahan. Mereka turun dan berjalan dengan perlahan menuju pintu masuk. Ini karena Nana yang baru mencoba mengenakan sepatu high heel atas saran Arin. Gadis berponi itu berjalan tersenggok-senggok, makanya harus pelan-pelan.
Di pintu masuk, dari kejauhan nampak si Ikin sedang berdiri berdua dengan istrinya. Mbah yang melihatnya, tersenyum simpul. Mereka berbaris rapi lurus mengikuti jalur karpet merah. Perlahan mereka naik ke atas panggung.
Satu-satu tamu bersalaman hingga tiba giliran Mbah. Kedua sahabat itu saling berpandangan. Tanpa berkata-kata mereka bertukar pikiran. Tak perlu bersuara namun mereka sudah berkomunikasi. Hanya dengan senyuman, seakan berkata, “Senang bertemu denganmu lagi sahabatku.”
Kilasan kilasan memori tentang masa remaja dahulu, sekelebat terlintas di kepala. Bertualang menjelajahi alam, saling mengerjai satu sama lain, jatuh cinta pada gadis yang sama, dan berbagai aksi lainnya yang membekas di otak mereka. Nostalgia.
Tak terasa waktu begitu cepat berjalan. Hari ini, teman bertualangnya itu melanjutkan hidup menuju jenjang pernikahan. Sudah tidak mungkin lagi mereka bisa bertualang bebas bersama. Karena dia telah menemukan petualangan baru bersama keluarga kecilnya.
Mbah bersalaman dengan Ikin sambil senyum-senyum licik. Ikin langsung sadar, ada yang aneh di tangannya Mbah. “Kampret! Mbah, apaan ini?”
“Terasi, wahahahahaha!!” Mbah tampak senang berhasil mengerjai sahabat karibnya itu.
Segera, Ikin mengelap tangannya kemana saja ia bisa menggapai. Kursi, hiasan bunga, karpet. Dia tidak menyangka Mbah akan mengerjainya di hari penting seperti ini. Namun anehnya ia tak merasa kesal sama sekali. Bahkan ia tertawa. Ia tertawa melihat sahabatnya tidak berubah. Sama seperti dulu.
Mbah kemudian memeluk secara jantan sobatnya itu. Perlahan, Mbah berbisik, “Selamat bertualang dengan keluarga barumu, sobat.” Dan keduanya mengakhiri pertemuan itu dengan tersenyum.
Mbah turun dari mimbar, berkumpul dengan yang lain. Dia datang dengan senyum-senyum bangga.
“Ngapain Mbah, kok senyum-senyum sendiri?” tanya Amar penasaran.
“Hihihi, tangannya tak kasih terasi, liaten habis ini semua tamu yang salaman sama dia tangannya jadi bau. Hahaha.” Mbah tertawa bangga. Ia ngeluyur pergi sambil tertawa lebar ke kamar mandi hendak membasuh tangannya.
Keempat anak kosan memandang Mbah dengan muka lempeng.
“Aku nggak mau ngundang Mbah ke kawinanku ntar …” kata Arin.
“Sama .…” Abil, Amar dan Nana berkata dengan kompak.
“Udah, ane mau makan dulu.” Amar pergi menuju hidangan utama.
Abil yang melihat arah dan tujuan Amar, tergelitik. “Saudara Amar, hendak kemana engkau?”
“Maem nasi …” jawab Amar polos.
“Kalau kamu makan nasi, kamu tidak bisa mencicipi semua makanan yang ada di sini Mar.”
“Lalu gimana caranya, Bil?” Amar jadi bertanya-tanya.
“ Panggil saya Master,” ucap Abil dengan nada cool.
“Lalu gimana caranya, master?”
“Biar kujelaskan,” kata Abil masih dengan nada cool. Dia menarik nafas panjang. “Teori Abil Kurdi, hidangan di pernikahan itu ada dua jenis. Satu hidangan utama, yang terdiri dari nasi dan berbagai macam lauk. Yang kedua adalah hidangan buffet, yang terdiri dari bermacam-macam masakan. Contoh hidangan buffet; tahu campur, bakso, kikil, dll.”
“Terus, terus?” Amar penasaran.
“Lalu, tahukah kamu bahwa mayoritas jumlah pesanan untuk hidangan utama itu jauh lebih banyak daripada jumah pesanan hidangan buffet.”
“Maksudnya?” Amar jadi bingung.
“Artinya Mar, Buffet itu lebih cepat habis daripada hidangan utama. Jadi agar kita bisa mencicipi semua makanan yang ada di sini, kita sikat hidangan buffet dulu. Baru hidangan utama,” kata Abil dengan bijak. Lalu tangannya menunjuk ke depan menirukan Mario teguh dan berkata, “Itu …”