Gemuruh teriakan semangat segerombolan tante-tante berhotpants dengan paha berhiaskan selulit, menggema di seluruh penjuru alun-alun kota Jember. Mereka bergerak aktif mengikuti gerakan gemulai sang instruktur senam. Celana instruktur feminim berjakun itu tak kalah ketat dengan tante-tante yang ia komando. Sampai-sampai handphone yang ia kantongi (padahal nggak ada kantongnya) terlihat menonjol.
Di barisan paling belakang, ada seorang gadis belia yang ikut senam. Kulitnya putih, bersih, mulus dengan rambutnya yang panjang dan berponi. Matanya sedikit sipit dan pipinya tembem. Namanya Anastasia Amelia, kerap dipanggil Nana. Dia datang bersama dengan dua mahasiswa senior yang in dekos di rumahnya. Yang satu, lelaki tegap berbadan atletis, berkulit hitam burik bernama Abil. Satu lagi, seorang lelaki lokal turunan Arab, berambut keriting, berbulu dada 5 helai bernama Amar.
Nana nampak bersemangat mengikuti gerakan instruktur berbaju leopard itu, sedangkan Abil dan Amar hanya berdiri terdiam sembari memicingkan mata, mengejan dan bergetar.
“Ayo Maas ikutan senam juga, masa cuman diem aja,” kata Nana.
“Ini kita juga sedang senam, Na.” Abil menjawab sambil menoleh pelan ke arah Nana.
“Hah? Senam apaan?” tanya Nana heran.
“Ini senam yang menguras tenaga dalam, khususnya tenaga di dalam celana,” jawab Amar yang keringatnya menetes dari jidat hingga bulu dada 5 helainya.
“Iiih, jorok. Senam mata ngeliatin tante-tante?” Nana bertanya penuh curiga.
“Bukaaan,” jawab Abil perlahan.
“Yah, meskipun kita emang ngeliatin Om, eh Tante-tante itu sih,” tambah Amar.
“Lha terus? Senam apa?” Nana bertanya masih penuh rasa curiga.
“Senam kegel,” jawab Abil dan Amar kompak.
----------------------------
“Mar, si Mbah sudah nyampe mana?” tanya Abil sambil sibuk menggosok pantatnya karena setengah kram sehabis senam tadi.
“Oh iya sebentar, ane tilipun dulu. Ente pulang aja duluan sama Nana kalau dia udah selesai senam.” Amar mengambil hape yang ada di dalam saku celananya yang berlubang dan beranjak meninggalkan Abil sendirian.
Di sisi lain, di dalam sebuah bis bernama Sumber Slamet yang dengan ugal-ugalan telah membuat beberapa motor jatuh tidak selamat, duduklah seorang lelaki muda asli jawa dengan wajah sedikit tua. Namanya Yoga, teman sekos Abil dan Amar. Namun karena mukanya yang terlihat senior walau usianya masih dewasa muda, maka teman-teman memanggilnya dengan sebutan “Mbah”.
Tiba-tiba celana Mbah bergetar nikmat. Hapenya bunyi. "Haloh ... ” Mbah menerima telepon dengan nada kalem.
“Mbah, mbah, dimana ente?” tanya Amar.
“Di dalem bis.”
“Mmmm .... Maksudnya di daerah mana, ente?”
“Di kursi nomer 2 dari belakang,” jawab Mbah cekikikan pelan.
Amar mulai emosi. “Bujubuset, lokasi bis ente udah di daerah mana?”
“Ini lagi di jalan raya ini, Mar.”
“Mbah, ane kaga jadi jemput aja ya.” Amar merajuk.
“Sori sori Mar, ini bentar lagi nyampe.” Mbah takut tidak dijemput.
“Nah, dari tadi kek. Ya udah, habis ini ane berangkat. Kira-kira berapa lama lagi nyampe?”
Mbah menjawab, “kalau nggak 15 menit ya 2-5 jam lagi.”
Hening. Amar emosi.
Kembali ke Abil yang sedang duduk di bangku pinggir lapangan, menunggu Nana selesai senam. Di bawah rindangnya pohon, ia mulai menyalakan rokok. Disedotnya perlahan lalu dihembuskan. Asap-asap putih hasil kreasi bibirnya yang pecah-pecah mulai mengepul, mengitari udara sekitar.
Swiiing .…
Sebuah bola basket entah darimana terbang mendekat dan mendarat tepat di muka Abil.
Ketepluk!
Rokok yang bertengger di mulutnya tadi terdorong ke dalam tenggorokan. “Okhok! Okhok! Huek! Hueeek!” Abil mencoba mengeluarkan rokok itu dari tenggorokannya.
“Maaf ya Maaas …” kata seorang gadis yang datang menghampiri Abil. Dia mengambil bola basket yang mengenai Abil tadi. Nampaknya bola bulat, besar dan padat itu adalah miliknya.
Abil tentu emosi, sungguh hampir mati ia kesedak rokok. Namun, setelah melirik ke sumber suara tersebut, aduhai hilanglah kekesalannya. Gadis itu sungguh putih. Mulus. Ayu. Elok. Dan suaranya selembut kasih sayang ibu.
“Tak apalah nona. Saya biasa kok terkena bola seperti tadi. Ini bukan apa-apa bagi saya.” Abil berubah gaya menjadi lelaki cool. Hidungnya mimisan akibat hantaman bola tadi.
“Lho!? Mas, hidungnya berdarah!” gadis pemilik bola basket itu panik.
“Oh, tenang saja nona. Saya biasa mimisan kok, habis ini juga berhenti.“ Abil masih bergaya cool, namun darah dari hidungnya tak kunjung berhenti malah semakin memancar.
“Mas, darahnya tambah banyak!” Gadis itu panik.
“Oh iya, nggak papa, muka saya pucat ya? Biasa ini, cuman anemia. Tuh, kan saya pusing. Saya pingsan sebentar ya,” ujar Abil mulai rebahan.