Hari masih gelap, matahari belum muncul. Ayam jago masih tidur mengerami telurnya. Namun di sebuah kosan putri, sudah terlihat seorang gadis berparas cantik tengah sibuk mempersiapkan alat dasar untuk prakteknya nanti. Dialah Arindy Puspita, yang biasa dipanggil Arin. Baru saja ia wisuda akhir semester lalu setelah berjuang menjalani perkuliahan. Setelah menyandang gelar sarjana, seperti calon dokter gigi lainnya, kini dia harus menjalani studi profesi sebagai mahasiswi koas gigi di sebuah Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM).
Di RSGM, pasien yang datang sendiri itu tergolong langka, sehingga untuk memenuhi persyaratan kelulusan, para koas gigi diharuskan mencari pasien sendiri. Biasanya, selepas jam klinik usai, para koas bergerilya mencari pasien untuk dikerjakan pada hari berikutnya. Jadi bila diurutkan, beginilah rutinitas penderitaan para koas kedokteran gigi; subuh mempersiapkan alat dan belajar untuk diskusi dengan dosen, pagi sampai siang praktek di RSGM, sore mencari atau janjian dengan pasien, dan malam belajar untuk diskusi esok hari. Memang sungguh berat jalan yang harus ditempuh untuk bisa menjadi seorang dokter gigi.
Arin terlihat khusuk menghafalkan berbagai teori untuk bekalnya nanti sewaktu dia harus berdiskusi dengan dosennya. Dengan wajah serius ia menyerap kalimat-kalimat medis penuh makna yang ia baca di handout kuliah. Pikirannya fokus. Kemudian ketiduran.
“Si Arin kemana sih? Jangan-jangan telat lagi,” gumam Ratih, teman Arin yang sedang gemas menunggu karena sudah waktunya absensi masuk.
Dengan tergesa-gesa, Arin berlari memasuki RSGM. Goncangan alat dasar dokter gigi yang ia bawa dalam tasnya menghasilkan bunyi yang khas yaitu "Prang Gerompyang".
“Rin! Dari mana aja kamu, jam segini baru dateng?” tanya Ratih.
“Eh, anu, tadi di jalan aku ngeliat bapak-bapak sudah tua. Jalannya pelan gitu, mau nyebrang jalan susah. Kasihan banget,” terang Arin.
“Oooh, jadi kamu telat karena bantuin bapak-bapak itu?”
“Nggak sih.”
Hening.
“Eh aku udah dapat pasien, nih.” Arin berusaha mengalihkan perhatian.
“Oh ya? Buat aku ada nggak? Dapet dimana?” Ratih terlihat bergairah.
“Ada, kayaknya Tih. Nah itu dia yang mau kuceritain. Pas kapan hari itu kan aku ke alun-alun sama anak kosan. Waktu main basket, ada laki-laki yang ngerokok sembarangan. Ya udah, aku lemparin aja bolanya ke dia, pura-pura nggak sengaja ampe rokoknya ketelen, hampir mati kayaknya dia.” Arin dan Ratih cekikikan. “Nah habis itu, aku pura-pura minta maaf. Trus tiba-tiba dia senyum lebaaar banget.”
Ratih penasaran. “Terus, terus?”
“Terus aku lihat giginya dengan seksama, kemudian kupikir kayaknya bisa ini kalau dijadikan pasien. Lalu, karena mau hujan anak kosan buru-buru minta pulang. Aku nggak sempat ngobrol sama dia, jadi aku minta nomernya trus beberapa hari kemudian ngajak ketemuan deh.”
“Terus, terus?”
“Naaah teruuuus .…”
-----------------------
Arin melongo melihat Abil, Amar, Mbah dan Nana melongo. Mereka melongo berjamaah. Entah darimana datangnya, ada tiga orang muncul setelah dia meminta Abil menjadi pasiennya.
“Lho, kok kalian di sini?” tanya Abil tambah kaget lagi setelah menyadari kemunculan mereka.
Amar, Mbah dan Nana hening sebentar. Dengan muka tanpa dosa dan lempeng, Amar berkata, “eh Bil, kok bisa kebetulan kita ketemu di sini? Kita nggak lagi nguntit ente lho.”
Abil memicingkan mata curiga pada Amar.
Nana angkat bicara. “Iya Mas, maaf. Ini idenya Mbah. Soalnya, Mbah bilang takut Mas Abil ditipu orang trus main pentung-pentungan.”
Abil menoleh ke Mbah. Keringat Mbah mengucur deras. “Waaah, hari ini cerah (padalan udah malem)," kata Mbah mengalihkan pembicaraan.
Hening.
“Eh Bil, siapa itu? Ane nggak nolak kalau dikenalin,” ucap Amar cengengesan.
Mereka saling berkenalan dan mengobrol. Arin menjelaskan mengapa dia meminta Abil menjadi pasiennya. Bagaimana kehidupannya sebagai koas gigi yang memaksa dia mencari pasien sendiri. Ketiga lelaki itu mendengarkan dengan seksama. Dari pertemuan itu, mereka merasa Arin adalah cewek cantik yang menyenangkan untuk diajak bicara. Mereka bertiga kepincut tresna padanya.
Sambil tersenyum gembira Arin berkata, “Eh, gimana mumpung semua di sini, aku periksa giginya? Siapa tahu bisa jadi pasien juga seperti Mas Abil.” Dengan senyuman yang membuat luluh hati laki-laki itu, Amar dan Mbah langsung buka mulut sambil kedip-kedip.
Sementara itu, Abil baru sadar. “Eh, kalian kok pada tau saya ketemuan dengan Arin di sini?”
“Lho, kita nggak buka-buka hapemu kok, Bil,” jawab Amar.
Mbah kemudian berpose foto selfie alay seperti yang ada di hape Abil. “Mas abil ganteng banget deh.”
Nana menirukan bunyi sms Abil ke cewek-cewek. “Halo dik Putri, lagi apa sekarang? Baju warna apa yang sedang kamu pakai?”
Abil tarik nafas kaget, rahasia hapenya telah dibaca oleh mereka. “Tidaaaaaaaak!”
-----------------------
Hari sabtu, hari yang cocok untuk bermalas-malasan. Seperti biasa, setelah mandi dan solat subuh, Amar duduk mengenakan sarung di depan TV. Ia sibuk menonton ceramah mamah deden di ruang tengah. Mbah yang baru bangun tidur ikut duduk dan menonton.
“Mas, anterin Nana ke kampus.” Nana tiba-tiba datang memecah kedamaian Amar dan Mbah. Tentu saja mereka malas mengantar Nana. Matahari belum juga terbit, disuruh nyetir motor. Pasti dingin di luar sana.
“Ayo maaas, anterin yah. Nana juga kalau nggak gara-gara OSPEK juga males berangkat pagi-pagi.”
“Waduh, lupa belum sholat. Sholat dulu aaah ....” Mbah berkilah seperti lagunya Exist (mencari alasan).
Nana kini menatap ke Amar.
“Ah, ane juga belum sholat.” Amar mencoba ngeles.
“Nggak mungkin. Tuh pake sarung, berarti Mas Amar habis sholat,” kata Nana sambil nunjuk sarungnya Amar.