Abil baru selesai mengantarkan Arin belanja bulanan. Mereka baru sampai di kosan.
“Lho, Mas Abil, kok banyak sandal di depan. Ada acara apa ya?”
Abil terkejut, kepalanya celingak-celinguk. Ada motor Jupiter oranye di parkiran kosan. Ini berarti hanya ada satu kesimpulan.
“Mamat dataaang!!” teriak Abil. Dia memarkirkan motornya dan berlari masuk meninggalkan Arin.
Masih dengan kebingungan apa yang terjadi, Arin melangkah masuk ke dalam kos. Dia berpapasan dengan Nana yang hendak masuk ke kamarnya sambil menggotong kipas angin.
“Na, ada apaan ya?” tanya Arin.
“Mas Mamat datang, Mbak. Nih, Nana dapet kipas angin, hehehe ....” Nana langsung masuk ke kamarnya.
“Mamat?” gumam Arin dalam hati. Dia tolehkan mukanya ke arah kamar kosan. Di sana, pintu yang selama ini selalu tertutup, yang selama ini misterius, terbuka begitu lebar. Pintu kamar nomer 2.
Kamar Mamat penuh sesak dengan orang-orang yang tiada lain tiada bukan, adalah teman-teman Abil, Amar dan Mbah satu kampus. Mamat si pemilik kamar memang biasanya diserbu waktu datang ke kosan karena dia suka menjual barang-barang lamanya dengan murah untuk kemudian membeli lagi barang-barang yang baru.
Abil yang telat datang, kebingungan tolah-toleh. “Mat, tinggal apa yang sisa?” tanya Abil pada Lelaki kurus berhidung lebar itu.
“Gak ada Bil, habis semua,” jawab mamat santai.
Abil celingak celinguk. “Ini dijual nggak?” Abil menunjuk cepat pada sebuah speaker berwarna hitam di dekat meja computer.
“Nggaklah, mahal ini. Belinya aja dulu 700ribu…”
“100 ribu!” ucap Abil cepat.
Mamat geleng-geleng.
“Tunai!” jawab Abil sambil melambai-lambaikan dua lembar 50ribuan.
“Oke!” Mamat memberikan speakernya dengan cepat. Sebagai pedagang, Mamat sukses menjual barang dagangannya. Urusan untung atau rugi itu belakangan. Mamat adalah orang berduit, suka beli barang baru. Tapi kalau sudah bosan ia langsung jual.
Arin duduk di sofa. Perhatiannya masih ke kamar nomer 2 itu. Pintu itu, yang selama ini sepi, sekali dibuka langsung ramai. Banyak wajah-wajah baru di dalam sana. Amar datang, duduk di sebelahnya.
“Itu teman-temannya Mas Amar semua?” tanya Arin santai.
“Iya.” Amar memperkenalkan teman-temannya dari jauh.
Kamar Mamat yang awalnya penuh perabotan, kini kosong diborong. Para pembeli beranjak pulang, namun langkah mereka terhenti ketika melihat Arin.
“Mar, siapa itu?” kata Enggar, salah satu teman Amar yang bulu dadanya setebal karpet rasfur.
Dengan muka malas, Amar terpaksa mengenalkan Arin pada mereka. “Namanya Arin, anak kedokteran gigi.”
“Halo, semua ... kalau ada yang sakit gigi hubungi aku ya,” sapa Arin ramah sambil dada-dada.
“Berapa nomer hapemu?” Tatapan mereka buas sekali.
Mbah mendorong mereka semua untuk segera pulang. Dia menyelamatkan Arin dari ganasnya kumpulan lelaki haus belaian itu.
Mamat keluar kamar. “Kamu siapa?” tanya Mamat menunjuk ke Arin.
“Kenalin Rin, ini Mamat anak kosan yang lama hilang. Mat, ini Arin calon dokter gigi yang sering cari korban di sini,” ujar Amar.
“Korban?”
“Pasien, jadi biar dia bisa lulus dia butuh pasien gigi untuk praktikumnya,” terang Amar.
“Ooooh ....” Mamat baru paham.