Pagi itu, aroma kopi dan roti bakar memenuhi ruang makan rumah besar keluarga Santoso. Sebuah rumah bergaya klasik di kawasan elit Jakarta, tempat Galaxy dan keluarganya tinggal. Di ujung meja makan, Pak Rahmat Santoso duduk dengan postur tegap, mengenakan kemeja putih rapi. Rambutnya yang mulai memutih menambah kesan berwibawa, sementara garis-garis tegas di wajahnya menunjukkan pengalaman hidup yang keras.
Di sampingnya, Bu Lestari menyajikan sarapan dengan penuh kasih. Wanita itu memiliki wajah lembut dengan kulit kuning langsat yang selalu tampak bersinar. Rambut hitamnya yang panjang diikat sederhana, mencerminkan kepribadiannya yang tenang dan penuh pengertian. Ia adalah sosok yang kerap menjadi jembatan antara suaminya yang keras dan anak-anaknya.
Di hadapan mereka, Galaxy duduk dengan ekspresi datar. Tubuhnya atletis meski sedikit lebih ramping dibanding kakaknya, Ardan. Rambut hitamnya yang acak-acakan memperlihatkan keengganannya untuk menyisir dengan rapi, seperti gaya hidup bebas yang ia sukai. Wajahnya mencerminkan pemberontakan remaja: rahang tegas, alis tebal, dan mata yang menyiratkan rasa percaya diri bercampur gelisah.
“Galaxy, sudah Ayah bilang, kamu akan sekolah di SMA 5 Bangsa. Tidak ada lagi pembicaraan soal STM,” ujar Pak Rahmat, nada suaranya tegas.
Galaxy meletakkan sendoknya dengan keras, membuat suara yang menggema di ruang makan. “Tapi kenapa aku nggak boleh sekolah di STM, Ayah? Aku ingin belajar teknik mesin. Itu minatku!” protesnya.
Pak Rahmat menatap anak bungsunya dengan tajam. “STM itu tidak cocok untukmu. Aku ingin kau memiliki pendidikan yang terbaik, bukan sekadar mengejar sesuatu yang tidak jelas masa depannya. SMA 5 Bangsa akan membuka jalan ke universitas ternama.”
“Ayah cuma mau aku jadi seperti Ardan, kan?” balas Galaxy, suaranya mulai meninggi.
Ardan, yang duduk santai di sofa sambil membaca koran, melirik adiknya sekilas. Ia adalah kebanggaan keluarga tinggi, tegap, dengan wajah tampan yang mirip model. Kulit sawo matang dan senyumnya yang mempesona membuatnya selalu menjadi perhatian, sementara kedisiplinannya menempatkannya sebagai anak teladan.
“Ardan memang contoh yang baik,” kata Pak Rahmat, suaranya naik satu oktaf. “Kalau kau bisa setengah disiplin dari dia, hidupmu tidak akan berantakan.”
Galaxy berdiri, membanting serbet ke meja. “Aku nggak mau jadi Ardan! Aku mau jadi diriku sendiri!”
Pak Rahmat ikut berdiri, tatapannya penuh amarah. Namun, sebelum ia sempat membalas, Bu Lestari memegang lengannya dengan lembut. “Sudahlah, Pak. Beri dia waktu. Galaxy hanya butuh kesempatan untuk menyesuaikan diri,” katanya lembut.
Pak Rahmat mendengus, lalu duduk kembali. Galaxy, meski masih marah, tahu bahwa melawan lebih lama hanya akan memperkeruh suasana. Ia menghela napas panjang dan keluar dari ruang makan, meninggalkan keluarganya dalam keheningan.