Hari-hari di SMA 5 Bangsa terasa seperti sebuah rutinitas tanpa warna bagi Galaxy. Sekolah itu terlalu disiplin, terlalu “sempurna” menurutnya. Tapi dia tahu, melawan kehendak ayahnya hanya akan membuat situasi semakin rumit. Jadi, dia memilih untuk menjalani semuanya dengan setengah hati.
Namun, sejak pertemuannya dengan gadis itu yang masih belum ia ketahui namanya ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Bukan sesuatu yang besar, tapi cukup untuk membuatnya lebih memperhatikan detail kecil di sekitarnya.
Minggu pertama kelas selalu dipenuhi dengan perkenalan. Saat itu, guru wali kelas, Bu Anjani, seorang wanita dengan wajah ramah dan suara tegas yang menggambarkan dirinya sebagai guru matematika, meminta semua siswa untuk memperkenalkan diri satu per satu. Galaxy duduk dengan malas di barisan tengah, mendengarkan sambil sesekali mencoret-coret bukunya. Ia tidak terlalu peduli dengan siapa yang bicara—sampai suara gadis itu muncul.
“Halo, nama saya Claraa,” katanya. Suaranya lembut namun cukup lantang untuk didengar semua orang. “Saya suka melukis, dan saya berharap kita semua bisa berteman baik.”
Galaxy mengangkat wajahnya. Claraa. Akhirnya ia tahu namanya. Ia memandangi gadis itu yang berdiri di barisan depan. Claraa tampak sederhana namun memikat. Senyum tipisnya membuatnya terlihat ramah, sementara cara ia berbicara mencerminkan kepercayaan diri yang tidak dibuat-buat.
Saat gilirannya tiba, Galaxy berdiri dengan enggan. “Nama saya Galaxy,” katanya singkat. Tidak ada tambahan informasi, tidak ada usaha untuk membuat dirinya terlihat menarik. Ia kembali duduk sebelum Bu Anjani sempat bertanya lebih lanjut.
Galaxy melirik Claraa, yang hanya mengangguk kecil mendengar perkenalannya. Gadis itu kembali sibuk mencatat sesuatu di bukunya, tidak menunjukkan minat lebih. Namun bagi Galaxy, momen itu cukup untuk membuatnya merasa sedikit lebih bersemangat menghadapi hari-harinya.
Setelah siswa sudah memperkenalkan dirinya masing-masing, bu Anjani memulai kelas dengan memperkenalkan materi tentang persamaan kuadrat.
Galaxy duduk di bangku baris tengah, berusaha menahan kantuk sambil memperhatikan papan tulis. Di sebelahnya, seorang siswa berkacamata yang tampak rapi mencatat dengan tekun. Anak itu bernama Vano, satu-satunya teman sekelas Galaxy sejauh ini.
“Eh, bro, ngerti nggak tadi?” bisik Vano sambil menunjuk catatannya.
Galaxy menoleh sekilas, lalu mengangkat bahu. “Lumayan, lah. Tapi kayaknya nggak bakal dipakai juga nanti,” jawabnya setengah bercanda.
Vano terkekeh kecil. “Iya juga, sih. Tapi gue tetap harus belajar. Bokap gue galak kalau nilainya jelek.”
Galaxy tersenyum samar. Obrolan singkat itu cukup membuat suasana terasa lebih santai. Walaupun baru kenal beberapa hari, Vano menunjukkan dirinya sebagai teman yang asyik—tidak terlalu menuntut tapi juga tidak terlalu cuek.
Sementara itu, Claraa duduk di barisan depan bersama beberapa teman perempuannya. Mereka adalah Nisa, sosok ceria yang selalu membawa suasana menyenangkan, dan Tari, yang lebih pendiam namun perhatian. Claraa tampak sibuk mencatat sambil sesekali berbicara dengan kedua temannya.
Galaxy tak sengaja mencuri pandang ke arah Claraa. Entah kenapa, ada sesuatu tentang gadis itu yang membuatnya merasa tenang. Sejak mendengar namanya hari itu, suasana sekolah yang awalnya terasa membosankan kini sedikit lebih ringan.
- Jam Istirahat
Saat jam istirahat tiba, Galaxy dan Vano memutuskan untuk pergi ke kantin. Kantin SMA 5 Bangsa cukup luas, dengan deretan meja panjang dan pilihan makanan yang beragam. Galaxy memilih nasi goreng, sementara Vano lebih suka mie ayam.
Di salah satu meja, Claraa duduk bersama Nabila dan Devi. Mereka tampak menikmati makanan sambil bercanda ringan. Claraa tertawa kecil saat Nisa menceritakan sesuatu yang lucu, suaranya terdengar lembut di tengah keramaian kantin.
Galaxy mencoba untuk tidak terlalu sering melirik ke arah Claraa, tetapi Vano menangkap gelagatnya.
“Eh, lu ngelihatin siapa?” tanya Vano dengan senyum jahil.
“Nggak ada,” jawab Galaxy cepat sambil memakan nasi gorengnya.
Vano tertawa kecil. “Udahlah, gue liat kok. Itu Claraa, ya? Cantik, sih. Tapi kayaknya dia nggak gampang dideketin.”
Galaxy hanya mendengus pelan, memilih untuk tidak menanggapi. Namun, dalam hati, ia tahu ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya sejak gadis itu masuk ke hidupnya.
Jam istirahat berakhir, dan siswa SMA 5 Bangsa kembali ke kelas masing-masing. Galaxy berjalan pelan di koridor sambil melirik ke arah kantin yang mulai sepi. Kepalanya masih dipenuhi bayangan Claraa. Ia ingat bagaimana gadis itu tertawa kecil di kantin tadi. Bahkan suara lembutnya masih terasa menggema di telinganya.
Saat Galaxy masuk ke kelas, suasana sudah mulai hening. Guru berikutnya, Pak Hadi, sedang berdiri di depan kelas, menyiapkan materi pelajaran berikutnya Fisika. Galaxy mendesah pelan. Mata pelajaran ini bukanlah favoritnya. Ia tidak terlalu buruk dalam Fisika, tetapi ia merasa tidak ada yang menarik dari rumus-rumus yang tampaknya terlalu jauh dari kehidupan nyata.
“Galaxy, buruan duduk,” tegur Vano, yang sudah lebih dulu berada di tempatnya.