Minggu demi minggu berlalu sejak Galaxy memberikan buku favoritnya kepada Claraa. Hubungan mereka semakin dekat, meskipun kedekatan itu tetap terbungkus dalam batasan persahabatan. Setiap kali mereka berbincang, waktu terasa berlalu begitu cepat. Mereka sering membahas mimpi, cerita hidup, dan hal-hal kecil yang tidak pernah terasa membosankan.
Namun, di balik momen-momen itu, ada perasaan yang mulai tumbuh di hati mereka. Perasaan yang tak diucapkan, tetapi begitu nyata.
Galaxy adalah tipe orang yang jarang menunjukkan emosi, namun ia selalu hadir ketika Claraa membutuhkan. Sebaliknya, Claraa lebih ekspresif, tetapi di dalam dirinya, ia juga mulai menyadari bahwa Galaxy bukan sekadar teman biasa. Ia merasa nyaman berada di dekat Galaxy, seolah segala hal menjadi lebih sederhana.
Benih Rasa
Hari itu, Claraa duduk di taman sekolah sambil membaca buku pemberian Galaxy. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, sesekali membuat rambutnya sedikit berantakan. Galaxy, yang duduk di bangku tak jauh darinya, memperhatikan dalam diam. Ia tersenyum kecil saat melihat Claraa tersenyum atau mengernyitkan dahi, tenggelam dalam cerita di novel itu.
“Claraa, kamu suka bukunya?” Galaxy memberanikan diri untuk mendekat.
Claraa mendongak, wajahnya cerah. “Suka banget! Aku nggak nyangka kamu bisa kasih buku yang cocok banget sama seleraku. Rasanya kayak kamu tahu aku lebih dari yang aku kira.”
Galaxy mengangkat bahu, berusaha tampak santai meski hatinya berdebar. “Aku cuma nebak, kok. Tapi aku senang kalau kamu suka.”
Claraa tersenyum, dan untuk sesaat, waktu seperti berhenti bagi Galaxy. Dalam obrolan sederhana itu, Claraa mulai memikirkan Galaxy lebih lama dari biasanya. Ia mulai menyadari bahwa Galaxy bukan hanya teman, tetapi seseorang yang memperhatikan hal-hal kecil tentang dirinya.
Kebersamaan yang Bermakna
Suatu hari, saat kelas berakhir lebih cepat, Galaxy memilih untuk tetap tinggal di ruang kelas. Ia membuka buku catatannya dan mulai menggambar sesuatu. Ia sering menggunakan menggambar sebagai pelarian dari dunia nyata, menumpahkan pikirannya ke dalam garis-garis sketsa.
Tak lama kemudian, Claraa muncul di pintu. “Lagi ngapain?” tanyanya sambil menarik kursi di sebelah Galaxy.
Galaxy menutup bukunya dengan cepat, tetapi Claraa sudah terlalu penasaran. “Boleh lihat? Aku janji nggak akan kritik,” ujarnya dengan senyum menggoda.
Galaxy ragu, tetapi akhirnya menyerahkan bukunya. Claraa membolak-balik halaman itu sampai ia menemukan sebuah gambar pemandangan. Di tengah gambar itu ada seorang gadis yang duduk di bawah pohon besar sambil membaca buku.
“Ini cantik banget, Galaxy. Kamu beneran berbakat,” ujar Claraa tulus.
Galaxy menggaruk belakang kepalanya, merasa malu. “Cuma iseng, sih. Aku gambar apa aja yang muncul di kepala.”
Claraa menunjuk gambar gadis itu. “Itu aku, ya?”
Galaxy kaget, pipinya memerah. “Eh, nggak, cuma kebetulan aja mirip.”
Claraa tertawa kecil, lalu menatap Galaxy. “Aku senang kamu menggambar aku... maksudku, kalau memang itu aku. Terima kasih.”
Galaxy hanya tersenyum, tetapi di dalam hatinya, ia merasa lebih dekat dengan Claraa. Setiap detik yang ia habiskan bersamanya terasa begitu berharga.
Perasaan yang Tumbuh
Malam itu, Claraa mengirim pesan kepada Galaxy.
“Galaxy, aku lagi butuh bantuan buat tugas. Kamu bisa temenin aku belajar di perpustakaan nggak?”
Galaxy langsung membalas, “Bisa banget. Jam berapa?”
Mereka bertemu di perpustakaan keesokan harinya. Claraa datang dengan membawa banyak buku, sedangkan Galaxy hanya membawa buku catatan kecil.
“Serius banget, ya,” canda Galaxy sambil menunjuk tumpukan buku Claraa.
Claraa tertawa kecil. “Aku nggak mau gagal ujian. Kalau kamu kok santai banget?”
Galaxy tersenyum. “Belajar bareng kamu aja udah cukup buat bikin aku paham.”
Claraa menggeleng, tetapi pipinya memerah. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam, saling membantu memahami materi. Sesekali, Claraa tersenyum mendengar cara Galaxy menjelaskan sesuatu dengan sederhana namun efektif.
Ketika mereka selesai, Claraa berkata, “Galaxy, makasih banyak. Aku nggak tahu kalau kamu bisa jadi tutor yang baik.”
Galaxy tersenyum kecil. “Aku senang bisa bantu, Claraa.”