Pagi begitu cerah. Taman kota yang indah, orang-orang begitu bersemangat. Mulai dari anak kecil bersama orangtuanya sampai kakek-nenek. Semua bersemangat, semua berkeringat.
Satu keputusan besar Risa ambil di Minggu pagi ini. Ia akan berolahraga. Ia merasa tubuhnya begitu kaku dan perlu banyak gerak.
Matahari mulai menyengat.
Risa sampai lupa, kapan terakhir ia berkeringat. Pekerjaan yang enak dan pergaulan yang bebas membuat dirinya lupa menjaga kesehatan.
Begitu menemukan sebuah bangku taman kosong Risa langsung duduk. Menghela napas dan nge-lap keringat.
Ia bersyukur, dirinya masih diberi kesempatan untuk sadar dan kini ia bertekad memperbaiki jiwa dan raganya. Kematian Seila membuat dirinya yakin untuk berhenti melakukan kebiasaan buruk itu.
Susah sekali bagi Risa menemukan bangku kosong. Di sana sini tempat duduk memang banyak. Tapi manusia yang olahraga pagi juga banyak. Tapi paling ngeselin kalo pas mau istirahat tempatnya dipake kongkow-kongkow sama anak alay yang tidak pada tempatnya. Pake jeans dan kemeja tissue kegedean, pake topi terbalik plus merokok. Tidak lama kemudian ia pun melanjutkan lari santainya.
Di jembatan kemudian Risa digodain anak alay, tiga orang malah. Risa awalnya asik sendiri. Ketiga bocah ingusan itu ngikutin, cekikikan dan ngata-ngatain.
"Mantap cuy," bisik salah satunya.
"Iya. Mulus bos. Bule, bule," kata yang lain dan yang satunya lagi nyahutin.
"Hus! Jangan kenceng-kenceng. Entar dia denger." Tapi sumpah! Semuanya Risa dengar.
Risa langsung berhenti dan berbalik sambil berkacak pinggang dan melotot. Sontak tuh triple alay langsung kocar-kacir.
Pengen banget rasanya Risa meneriaki mereka dengan nama binatang dari kubangan lumpur atau binatang pemakan kotoran. Tapi tidak, ibunya tidak pernah memberi contoh seperti itu. Justru ibunya pasti marah besar kalau sampai ia seperti itu. Sehat atau alay itu pilihan. Jadi? Risa kembali berlari.
Risa mulai olahraga di minggu pagi. Sendiri. Awalnya ragu bahkan malu. Tapi setelah ia pikir matang-matang. "Ngapain ngikutin kebiasaan si Dinda yang selalu kalo malam Minggu pulang malem dan bangun kesiangan atau seperti si Tinot yang kuper vampir, gak mau sedikit saja kena sinar matahari." Keputusan besar untuk kesehatan pribadi ada pada dirinya sendiri.
"Hah!" Risa menghela lelah dan menghabiskan air mineral yang tersisa. Segar sekali Risa rasa. Sebentar Risa membetulkan tali sepatu dan merapikan ikatan rambut. Lalu saking bersemangatnya, di belokan yang terhalang pagar tanaman Risa menabrak anak kecil. Mungkin usia 4 tahunan, cewek dan langsung menjerit kesakitan.
"Ups! Maaf," kata Risa spontan pada sesosok lelaki yang nikung bersama bocah itu. Bocah itu sampai terjungkal.
Sialnya lagi, pas mau mungut tuh bocah yang terjungkal jidat Risa bentrok sama jidat si lelaki itu atau Ayahnya tuh bocah yang juga mau mungut anaknya.
"Aduh... Maaf maaf!" ucap Risa. Risa malu bukan kepalang. Tampak lelaki itu menatap Risa, seperti singa yang siap menerkam. Tapi tiba-tiba ia berubah jadi kucing yang penyayang. Meraup bocah itu, ia lipur dan ia kecup sayang.
"Mana yang sakit sayang? Ini?? Udah ah udah. Kakanya gak sengaja," ucap pria itu seraya bangkit dan mengkais bocah itu yang mulai reda tangis dan kagetnya.
Ia lantas menatap Risa dengan pasrah.
"Lain kali hati-hati, banyak anak kecil."
"Iya, iya Pak. Dedeknya tidak apa-apa kan? Maafin Kaka yah," ucap Risa merendah ke arah bocah itu.