Tiga Titik Temu

Asep Hendra Kurnia
Chapter #5

Hilman #5

Di satu sudut kampung di kaki pegunungan yang masih rimbun, tampak sebuah komplek pesantren berdiri dengan kokoh penuh dengan Santri dan santriwati. Satu blok asrama putri, satu blok asrama putra, belasan ustad dan guru di pimpin oleh seorang kiai ternama. Di jalan berbatu dari perkampungan menuju kompleks pesantren itu tampak sebuah mobil sejenis APV warna putih datang dan parkir di pelataran.

Seorang tua turun dari APV itu dan menanyakan pak Kiai Sepuh pada santri yang kebetulan lewat. Santri itu pun mengantar orang asing itu menemui Kiai.

Hilman sedang merapikan kitab-kitab di ruang ajar ketika seorang temannya yang bernama Cecep datang membawa kabar.

"Assalamualaikum, Man, kamu dipanggil kiai Sepuh." Hilman santai saja menanggapinya.

"Wa'alaikum salam, warahmatullahi wa barokatu. Sebentar," kata Hilman Sambil terus merapikan kitab-kitab.

"Yeh! Cepetan katanya. Sini! biar aku yang lanjutkan, kamu sana!"

Sejenak Hilman membetulkan posisi peci.

Pak Kiai Sepuh sedang bersama orang asing berpakaian rapi ketika Hilman datang. Dengan sopan Hilman ucap salam dan menyalami keduanya.

"Ini Jang, yang Abah (Tetua) ceritakan itu. Sahabat Abah yang dari kota yang mau ngajak kamu. Sekarang masjidnya sudah jadi." Hilman manggut-manggut tanda mengerti.

"Sekarang juga kamu berkemas."

"Sekarang Abah???"

"Ya, sekarang." Hilman pun undur diri dan mengemasi barang-barangnya. Seorang Cecep kembali menghampiri.

"Man, kamu jadi kerja di kota?"

"Iya Cep. Oh iya, titip ini buat Siti yah," ucap Hilman pada temannya itu sambil memberikan sepucuk surat. Cecep pun mengerti. Setelah lirik kiri-kanan Cecep pun mengantongi surat itu. Terakhir keduanya berpelukan. Cecep hampir menangis ketika Hilman mulai beranjak menjauh menggendong tas besar.

Hilman pun berlalu dibawa mobil APV itu.

Selesai waktu sholat ashar Cecep berlari mencari Siti.

"Nak Hilman, nanti jangan sungkan-sungkan yah. Kalo ada apa-apa bilang ke Bapak yah," ramah lelaki tua itu yang Hilman tahu namanya Pak Darji. Seperti cerita Abah/Kiai Sepuh. Pak Darji ini menunaikan nazarnya, kalo bisnisnya sukses ia akan mendirikan sebuah mesjid. Rupanya sekarang mesjid itu telah selesai dibangun dan Hilman diberi tanggung jawab untuk mengurus mesjid itu.

Siti mencari tempat tersendiri, melangkah sendiri di keremangan malam selesai ngaji. Seperti bidadari dengan pakaian serba putih dan wajah putih. Derik jangkrik dari balik gelap terdengar nyaring dalam hati yang sunyi. Siti pun menemukan sudut belakang asrama yang terang. Siti membuka surat dari Hilman yang dititipkan pada Cecep itu.

Tatapan Hilman terus berpesiar pada megahnya gedung dan kokohnya tiang-tiang jembatan. Hatinya rapuh. Perjalanan yang jauh.

Lihat selengkapnya