Keluarga Sanjaya keluarga terpandang, Sanjaya sebagai kepala keluarga adalah pensiunan aparat negara. Selain itu dia dikenal sebagai tuan tanah, yang memiliki puluhan hektar lahan.
Nurma istrinya juga dikenal sangat luwes dalam bergaul, sebagai istri aparat dia memang dituntut untuk bersikap ramah kepada siapa saja. Tambah lagi dia berdagang, menjual barang apa saja dengan cara dikreditkan.
Empat orang anak Sanjaya yang lain telah menikah dan tinggal di rumah masing-masing, kini rumah besarnya hanya dihuni dia, istrinya dan putra bungsu mereka Ardi.
"Pak, aku ingin menikah!" Ardi memecah keheningan ruang makan, yang dari tadi hanya terdengar kelinting sendok beradu dengan piring. Sanjaya cepat memberi kode saat sang istri akan mengatakan sesuatu.
"Apa sudah ada calonnya?" tanya Sanjaya sesaat setelah istrinya mengurungkan niat untuk bicara.
"Sudah Pak," jawab Ardi.
"Sudah lama kamu pacaran dengannya?" tanya Sanjaya lagi.
"Kami tidak pacaran Pak, dia tidak mau jadi pacar saya." jelas Ardi.
"Jadi pacarmu saja dia tidak mau, bagaimana mungkin jadi istrimu." sinis Nurma, dia tidak tahan lagi untuk tidak bicara.
Sanjaya menatap tajam, pada istrinya. Itulah mengapa dia melarang istrinya bicara, dia bisa menebak wanita itu hanya akan melontarkan kalimat ketus.
"Dia mau langsung menikah saja, tak mau pacaran." jawab Ardi tanpa menoleh pada ibunya.
"Yah sudah habiskan makan mu, setelah ini kita bicara lagi," ujar Sanjaya.
Selesai makan, Sanjaya mengajak putra bungsunya keluar rumah. Di halaman rumah, di bawah cahaya bulan, dan remang lampu teras, mereka duduk berdampingan. "Nak, berapa umurmu sekarang?" tanya Sanjaya.
Tentu ini cuma pertanyaan klise, karena tak mungkin Sanjaya lupa kapan Ardi dilahirkan.
"Dua puluh enam tahun, Pak," jawab Ardi
"Yah memang sudah pantas kau menikah," gumam Sanjaya. Lelaki itu mengadahkan kepala, menatap langit dengan gambar bulat bulan purnama.
"Apa kau sudah tahu tugas dan kewajiban seorang suami?" tanya Sanjaya melirik pada putra bungsunya itu.
Ardi diam terpaku, dia menunduk menatap jari-jari kakinya sendiri. "Seorang suami harus bertanggung jawab penuh kepada istrinya, memberi nafkah lahir dan batin," suara Sanjaya masuk lubang telinga dan mengalir terus ke otak.
"Nafkah lahir berupa kecukupan ekonomi, tempat tinggal yang layak, makan minumnya tercukupi, pakaian dan perhiasannya tidak kekurangan," Sanjaya kembali melirik putranya.
"Nafkah batin, berupa perhatian, kasih sayang, cinta, dan rasa aman," sambungnya.
Suasana kembali hening, Ardi sepertinya berpikir mencerna tiap kata mengolah makna yang tersirat, bahwa mungkin sang ayah ingin dia bekerja.
"Coba kamu pikir Nak, apa kah kamu sudah siap mencukupi semua kebutuhan lahir istrimu?" tanya Sanjaya.
"Ardi harus kerja apa Pak?" gumam pemuda itu.
"Pengalaman apa yang kau dapat selama hidup di jalanan?" Sanjaya menatap anaknya.
"Aku bisa mengemudikan truk, bertahun aku ikut abang-abang sopir itu keliling pulau Jawa dan Sumatera. Cuma, gadis itu tidak boleh aku menjadi sopir," jelas Ardi.