Mereka yang dibilang pendatang atau perampas di tanah Matahari Terbit memiliki kekuasaan atas tanah kelahiran para Maubere dan Bui Bere, cara untuk menguasainya gampang saja dengan bekerja sama dengan orang-orang pribumi. Mereka manawarkan tingkat singasana raja kepada pemimpin di kampung Matahari Terbit. Mereka benar-benar memiliki segala sesuatu yang mereka mau, terhitung dari kekuasaan, rempah-rempah, kayu cendana, cengkeh serta semua yang berharga, mereka mangambil semuanya dari kampung Matahari Terbit dan masyarakat Maubere dan Bui Bere hanya budak dan pekerja di tanahnya sendiri.
Semua itu berjalan hampir ratusan tahun, baru muncul pergerakan-pergerakan yang ingin melepaskan diri dari segala penindasan dari orang-orang yang tidak berperikemanusiaan, kehidupan itu ibaratnya Musa yang mendapat pertolongan Allah untuk membebaskan rakyat Israel dari tanah orang Farisi. Suara ledakan senjata terdengar memekakan telinga. Beberapa kelompok bawah tanah dan kompi prajurit pantang mundur, beberapa dari mereka tanpa hentinnya berperang demi ibu pertiwi. Dari pagi hingga malam mereka berada dalam medang perang, saat itu mereka merasa bahwa kehidupan mereka sudah ternodai orang-orang dari seberang lautan, dari peristiwa kelam ini tanah mereka digenangi darah dimana-mana. Suara pedang beradu dan teriakan kebencian semakin menambah suramnya Medan perang.
Para pemberani dari kampung Matahari Terbit tetap mengayunkan pedangnya membabi-buta. Angin padang pasir yang membelai rambut mereka tak mereka hiraukan, pun matahari yang semakin panas membara tak menggoyahkan semangat mereka untuk segera mengakhiri perang.
Sebagai anak bangsa yang pemberani ada seorang panglima yang bernama Ambere, ia memiliki tanggungjawab besar untuk kampungnya. Masyarakat kampung Matahari Terbit memberi harapan penuh kepadanya dan memintanya langsung untuk memimpin perang ini.
Kampung Matahari Terbit adalah sebuah kampung yang besar. Seluruh daratan di kawasan utara memuji mereka karena keindahan alam dan kekayaan yang berlimpah. Lantas dengan serakah, beraninya orang-orang dari seberang lautan datang merampas dan menghancurkan mereka berkeping-keping dengan segala macam cara untuk menggapai apa yang mereka inginkan. Ini tidak bisa dibiarkan.
Ambere dan masyarakat bersatu dan berangkat berperang dengan meninggalkan banyak hal. Keluarga, harapan, cita-cita dan harga diri. Ambere pada saat itu memiliki tekad untuk berperang melawan para penghuni tidak diundang dengan hanya membawa 5 ribu pasukan dalam perang ini. Pasukan berkuda seribu, pasukan panah 2000, serta pasukan rahasia 2000 personil. Semuanya adalah pasukan yang bermodalkan pengalaman bersembunyi dan tak terlatih.
“Maju” seru Ambere ketika salah seorang pemanahnya berhasil memanah seorang kepala prajurit dari seberang lautan.
Pasukan pedang maju dengan teratur, dilindungi oleh pasukan panahan yang tetap melancarkan serangan mereka.
Slash…, slash…, slash…
Ribuan anah panah mengudara, membunuh satu persatu pasukan dari orang-orang seberang lautan yang dengan tiada hentinya, Ambere tidak berfikir untuk mundur dan tidak mau menarik pasukannya.
Banyak pasukan dari orang-orang seberang lautan yang langsung tumbang, Ambere menggunakan kesempatan itu untuk menyerang lagi. Komandannya bernama Mau Same, ia perintahkan untuk mengambil harta rampasan perang selagi ia mencari panglima besar para perampas tak tahu diri itu. Panglima Mau Same. Keindahan sesungguhnya dari bangsa kampung Matahari Terbit adalah panglima besar Ambere. Lihatlah kulit yang hitam bagai aspal, tubuh yang tinggi dan serta suara komando yang lantang. Caranya berteriak sungguh tegas dan berani.