Tikus-Tikus Dalam Otakku

Rifan Nazhip
Chapter #3

Kisah #3 Toko Roti

Pengujung Agustus, kota di atas bukit batu itu melepuh. Senja merah tak bisa memberinya kesejukan. Debu akhir musim panas, mencakar setiap jendela. Kota seakan mati. Tak ada pejalan kaki. Hanya mobil yang berani menapak jalan membara.

Omar anggar dada, duduk di kursi kerajaannya. Dia mecungkil gigi karena daging domba kari yang nakal, bertahan di setiap sela. Mungkin ada empat sela. Dia kesal, betapa alot serpihan daging domba mencengkeram gigi. Apalagi senja itu roti masih menumpuk di etalase berpenutup plastik.

Dia berjalan ke depan toko. Membenarkan plang merk yang miring diterabas angin musim panas. Tertulis di situ "Bakery Mardin". Dia menelengkan kepala sambil berpikir. Plang merk itu tidak miring lagi. Yang miring hanya penjualan roti di musim panas, cukup mengkhawatirkan.

Harusnya dia turuti nasihat Alv. Misalnya, berjualan roti dipadukan dengan es krim. Siapa saja akan bergairah melihat makanan dingin segar di saat panas menyengat. 

Omar memukul pelan pipi Alv. Anak muda itu tidak tahu kalau Omar anti es krim. Sekali saja dia mengicip makanan dingin itu, alamat seharian dia absen berjualan. Bersin terus!

"Tapi bukan Tuan Omar yang memakan es krimnya," protes Alv. Dia memang penyuka es krim.

"Bagaimana kalau saya ingin mengicipnya?" Omar mencondongkan kepalanya ke wajah Alv. Anak muda itu mendengus, lalu pergi menuju sebuah lorong.

Mengingat kejadian menggelikan itu, Omar menggeleng-geleng, kemudian masuk kembali ke dalam tokonya. Saat itulah dia melihat seorang anak berusia belasan tahun, menjulurkan tangannya ke dalam etalase. Roti keju berlumur coklat berpindah tempat. Emosi Omar membukit. Dia menunjuk anak itu dengan wajah semerah udang. "Tertangkap kau maling cilik!"

Mengingat ke belakang hari, roti Omar memang mulai sering berkurang satu atau dua potong. Meskipun tidak setiap hari, tapi dia merasa amat rugi, apalagi omzet penjualan roti di musim panas turun drastis. Pasti ada maling berkeliaran di kotanya. Dia sudah berjaga-jaga beberapa minggu ini, selalu maling itu selicin belut. Senja inilah nasib na'as menimpa maling berambut pirang awut-awutan itu.

Mata maling kecil itu membola. Dia ketakutan. Kendati bukan maling kalau tak bisa berlari secepat kilat. Dia menghilang di lorong. Omar muntab. Dia memanggil anaknya yang sedang asyik bermain gawai. "Tunggu di sini. Babah akan mengejar maling sialan itu." Ada lenguh penolakan dari mulut anaknya. Omar tak peduli. Dengan beban perut yang besar, dia berlari mengejar maling itu ke dalam lorong. Dia hampir menabrak seorang polisi. Kebetulan sekali!

"Tuan Pol, bantu aku mengejar maling kecil itu," kata Omar terburu. "Maling kecil berambut pirang, kusut dan pasti bau." Polisi mengeluarkan pena dan notes. Dengan cermat dia menulis, seakan dia takut huruf-huruf yang dia tulis akan jatuh ke jalan.

Lihat selengkapnya